Detail Cantuman
Text
Eudaimonisme : kebajikan, Aktualisasi Potensi dan Kebahagiaan
1035296101 | 158.1 AFI e C-1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1035297102 | 158.1 AFI e C-2 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1035298103 | 158.1 AFI e C-3 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1035299104 | 158.1 AFI e C-4 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Kebahagiaan itu bukan sekadar kenikmatan atau perasaan senang. Kebahagiaan itu bukan semata kondisi psikologis yang penting “aku tidak menderita” atau “yang penting aku senang”. Kebahagiaan itu maknanya sangat luas.
Kebahagiaan perlu dimengerti sebagai kondisi yang lebih besar dan melampaui rasa senang belaka. Kebahagiaan perlu dihayati sebagai suatu proses pertumbuhan, proses menemukan dan kemudian memaksimalkan kapasitas kemanusiaan terbaik kita, hingga mengejawantah menjadi laku hidup terpuji; di mana kebahagiaan yang demikian tidak menempatkan penderitaan sebagai antitesis bagi kebahagiaan, melainkan sebagai bagian dari sebuah “gestalt”—hidup itu sendiri—kondisi pengalaman yang dapat menjadi sarana pertumbuhan.
Buku ini mengurai secara detail tentang makna hakiki dari kebahagiaan itu sendiri, yaitu suatu jalan kebajikan, laku hidup luhur untuk merealisasikan apa yang Aristoteles sebut sebagai golden mean. Kebahagiaan, dengan demikian, merupakan jalan pemenuhan, proses mencapai sebuah tujuan yang sarananya atau metodenya sekaligus merupakan tujuan itu sendiri. Tidak mengherankan apabila tradisi Aristotelian kemudian mendefinisikan kebahagiaan sebagai eudaimonia, yaitu kebajikan atau kebaikan atau keluhuran, bukan sekadar happiness, atau kebahagiaan sebagai pengalaman psikologis menyenangkan.
Karena kebahagiaan merupakan sebuah proses, sang penulis menawarkan kepada para pembaca untuk senantiasa membiasakan diri menerima tegangan terus-menerus antara metode mencapai kebahagiaan dan kondisi kebahagiaan yang ingin kita capai. Sederhananya, jika kebahagiaan merupakan tujuannya, maka kebajikan merupakan sarananya.
Kebahagiaan perlu dimengerti sebagai kondisi yang lebih besar dan melampaui rasa senang belaka. Kebahagiaan perlu dihayati sebagai suatu proses pertumbuhan, proses menemukan dan kemudian memaksimalkan kapasitas kemanusiaan terbaik kita, hingga mengejawantah menjadi laku hidup terpuji; di mana kebahagiaan yang demikian tidak menempatkan penderitaan sebagai antitesis bagi kebahagiaan, melainkan sebagai bagian dari sebuah “gestalt”—hidup itu sendiri—kondisi pengalaman yang dapat menjadi sarana pertumbuhan.
Buku ini mengurai secara detail tentang makna hakiki dari kebahagiaan itu sendiri, yaitu suatu jalan kebajikan, laku hidup luhur untuk merealisasikan apa yang Aristoteles sebut sebagai golden mean. Kebahagiaan, dengan demikian, merupakan jalan pemenuhan, proses mencapai sebuah tujuan yang sarananya atau metodenya sekaligus merupakan tujuan itu sendiri. Tidak mengherankan apabila tradisi Aristotelian kemudian mendefinisikan kebahagiaan sebagai eudaimonia, yaitu kebajikan atau kebaikan atau keluhuran, bukan sekadar happiness, atau kebahagiaan sebagai pengalaman psikologis menyenangkan.
Karena kebahagiaan merupakan sebuah proses, sang penulis menawarkan kepada para pembaca untuk senantiasa membiasakan diri menerima tegangan terus-menerus antara metode mencapai kebahagiaan dan kondisi kebahagiaan yang ingin kita capai. Sederhananya, jika kebahagiaan merupakan tujuannya, maka kebajikan merupakan sarananya.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 158.1 AFI e |
Penerbit | IRCiSoD : Yogyakarta., 2023 |
Deskripsi Fisik | 362 hlm.; 20 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-623-8108-32-9 |
Klasifikasi | 158.1 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Psikologi Kebahagiaan |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Afthonul Afif |
Tidak tersedia versi lain