Detail Cantuman
Text
Sai Miu? Ata Nggela Lio-Ende : Mengeker Peradaban Para Leluhur Paling Awal: Nogo, Tori, Ni - Nggela, Majapahit, Portugis, Malaka, Goa, Hingga Kunu Ata Mai
1036800201 | NTT 306.5986833 NDA s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1036801202 | NTT 306.5986833 NDA s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
Sebagai keturunan masyarakat Nggela dan seorang imam Katolik yang berpengetahuan luas, Romo Alo mempersembahkan dalam buku ini karya hidupnya yang tak ternilai harganya tentang masa lalu dan masa kini adat budaya Ata Nggela, khususnya tentang siapa Ata Nggela, atau Sai Miu. Meskipun ia sendiri bukan seorang imam misionaris Serikat Sabda Allah (SVD), namun karya Romo Alo ini melanjutkan tradisi para imam Serikat SVD di Flores, semisal Pater Paul Arndt SVD, Pater Julius Verheijen SVD, Pater Piet Petu SVD dan Pater John Mansford Prior SVD.
Nggela begitu memikat dari perspektif luar lantaran kampung itu merupakan salah satu pusat budaya utama di wilayah Lio-Ende dan juga Flores seumumnya. Kampung tersebut merupakan prestasi Ata Nggela, laki-laki dan perempuan, yang gemar bekerja keras dan doyan berkompetisi dalam cara yang sarat manfaat, sadar tradisi sekaligus berwawasan ke depan, dan memiliki citarasa daya cipta yang sangat kuat yang telah mereka wariskan secara turun-temurun. Kampung tersebut adalah juga tempat di mana kita dapat melihat dalam bentuk adat dan percontoh, aneka praktik dan gagasan sosial budaya yang sangat hakiki dalam konteks Indonesia seumumnya hingga saat ini.
Hampir tidak ada kampung lain di Flores di mana kita dapat mengalami kekayaan yang menakjubkan dalam seni tenun ikat, seni arsitektur dan seni kehidupan upacara. Kekayaan budaya itu bukan melulu soal masa lalu, melainkan juga sangat hidup hingga masa kini, meskipun kondisi kehidupan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap kali dicirikan sebagai negeri tak tentu. Bahkan Ata Nggela terus mengembangkan budaya mereka dengan kreativitas yang menakjubkan. Latar dan penataan arsitektur sakral di kampong itu lengkap dengan tempat pemujaan (kanga), rumah musyawarah (keda) dari 17 pemimpin adat (mosalaki) dan sekitar 30 rumah upacara (saó nggua), sebuah jumlah yang lebih banyak daripada di kampung mana pun di wilayah Lio, merupakan ekspresi budaya yang menawan dari komposisi sosial yang mendasari masyarakat tersebut.
Keanggotaan dalam satu klan yang dirunut melalui garis ibu (kunu) menentukan apakah, sampai masa kemerdekaan Indonesia, seorang termasuk dalam kelompok bangsawan, rakyat jelata atau hamba sahaya. Praktik magis tertentu dan juga kemampuan tenun ikat diteruskan melalui garis ibu. Setiap kelompok keluarga (suku), yang disusun seturut garis ayah, memiliki satu rumah upacara atau rumah adat sendiri, di mana para leluhur dan Yang Ilahi dipuja, dan dari mana beragam upacara siklus pertanian tahunan dimulai, sebelum dilanjutkan di tempat pemujaan suci dan di pusat sakral kampung serta di ladang-ladang kelompok keluarga yang berbeda. Beragam upacara ini sangat penting karena setiap kelompok keluarga memainkan perannya sendiri di dalam masing-masing upacara tersebut. Selain itu, jika muncul kontroversi di tengah masyarakat atau di dalam upacara itu sendiri, pelaksanaan upacara memungkinkan adanya negosiasi konflik, dan karenanya upacara tersebut memupuk ikatan persekutuan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, tanpa rumah adat, termasuk tempat pemujaan dan rumah musyawarah, tidak akan ada upacara, tidak akan ada penguatan ikatan keluarga dan ikatan kampung Nggela sebagai sebuah persekutuan masyarakat. Seni berladang, khususnya tenun ikat, dan situasi keuangan rumah tangga Nggela, akan lesu, karena pelancong domestik dan turis asing tidak akan tertarik untuk mengunjungi sebuah kampung tanpa warisan budaya yang kelihatan. Oleh karena itu, sangat penting bagi keberlangsungan budaya dan ekonomi Nggela, dan Flores seumumnya, bahwa setelah bencana kebakaran besar pada tahun 2018, 22 rumah adat di sana yang terbakar rata tanah mesti dibangun kembali sesegera mungkin.
Pembaruan siklus upacara perladangan direncanakan akan dimulai tahun 2023. Peristiwa ini merupakan prasyarat penting bagi mekar dan berkembangnya budaya dan ekonomi Nggela. Inilah dan masih banyak pemikiran lain yang disajikan dalam buku yang sarat wawasan dan informatif karya RD. Aloysius Ndate. Buku ini mengajukan banyak pertanyaan penting dan memberi banyak jawaban yang tidak kalah penting yang didasarkan pada studi etnografi lisan, termasuk mitos dan cerita rakyat, serta pengamatan cermat atas sistem ekonomi dan upacara. Buku ini seyogianya menjadi bacaan wajib bagi generasi muda Ata Nggela, dapat digunakan sebagai buku pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dan sebagai sumber ilham bagi khalayak pembaca dan khususnya para pemangku kepentingan semisal para pemuka adat di Flores dan sekitarnya. Secara umum, buku ini sangat dianjurkan agar dibaca semua orang, awam maupun pakar, yang tertarik untuk memahami sebuah komunitas kampung di Flores yang memiliki warisan budaya menakjubkan, yang dijangkarkan pada prinsip-prinsip dasar menyangkut cara berpikir dan pergumulan hidup di Indonesia: para leluhur sebagai kunci tradisi dan kesejahteraan di masa lalu dan di masa depan; adat sebagai sistem norma yang terkait dengan para leluhur yang membentuk perekonomian berladang dan menenun, upacara berladang dan upacara siklus hidup, dan kehidupan pada umumnya; serta agama yang dalam hal ini adalah Gereja Katolik.
Nggela begitu memikat dari perspektif luar lantaran kampung itu merupakan salah satu pusat budaya utama di wilayah Lio-Ende dan juga Flores seumumnya. Kampung tersebut merupakan prestasi Ata Nggela, laki-laki dan perempuan, yang gemar bekerja keras dan doyan berkompetisi dalam cara yang sarat manfaat, sadar tradisi sekaligus berwawasan ke depan, dan memiliki citarasa daya cipta yang sangat kuat yang telah mereka wariskan secara turun-temurun. Kampung tersebut adalah juga tempat di mana kita dapat melihat dalam bentuk adat dan percontoh, aneka praktik dan gagasan sosial budaya yang sangat hakiki dalam konteks Indonesia seumumnya hingga saat ini.
Hampir tidak ada kampung lain di Flores di mana kita dapat mengalami kekayaan yang menakjubkan dalam seni tenun ikat, seni arsitektur dan seni kehidupan upacara. Kekayaan budaya itu bukan melulu soal masa lalu, melainkan juga sangat hidup hingga masa kini, meskipun kondisi kehidupan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap kali dicirikan sebagai negeri tak tentu. Bahkan Ata Nggela terus mengembangkan budaya mereka dengan kreativitas yang menakjubkan. Latar dan penataan arsitektur sakral di kampong itu lengkap dengan tempat pemujaan (kanga), rumah musyawarah (keda) dari 17 pemimpin adat (mosalaki) dan sekitar 30 rumah upacara (saó nggua), sebuah jumlah yang lebih banyak daripada di kampung mana pun di wilayah Lio, merupakan ekspresi budaya yang menawan dari komposisi sosial yang mendasari masyarakat tersebut.
Keanggotaan dalam satu klan yang dirunut melalui garis ibu (kunu) menentukan apakah, sampai masa kemerdekaan Indonesia, seorang termasuk dalam kelompok bangsawan, rakyat jelata atau hamba sahaya. Praktik magis tertentu dan juga kemampuan tenun ikat diteruskan melalui garis ibu. Setiap kelompok keluarga (suku), yang disusun seturut garis ayah, memiliki satu rumah upacara atau rumah adat sendiri, di mana para leluhur dan Yang Ilahi dipuja, dan dari mana beragam upacara siklus pertanian tahunan dimulai, sebelum dilanjutkan di tempat pemujaan suci dan di pusat sakral kampung serta di ladang-ladang kelompok keluarga yang berbeda. Beragam upacara ini sangat penting karena setiap kelompok keluarga memainkan perannya sendiri di dalam masing-masing upacara tersebut. Selain itu, jika muncul kontroversi di tengah masyarakat atau di dalam upacara itu sendiri, pelaksanaan upacara memungkinkan adanya negosiasi konflik, dan karenanya upacara tersebut memupuk ikatan persekutuan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, tanpa rumah adat, termasuk tempat pemujaan dan rumah musyawarah, tidak akan ada upacara, tidak akan ada penguatan ikatan keluarga dan ikatan kampung Nggela sebagai sebuah persekutuan masyarakat. Seni berladang, khususnya tenun ikat, dan situasi keuangan rumah tangga Nggela, akan lesu, karena pelancong domestik dan turis asing tidak akan tertarik untuk mengunjungi sebuah kampung tanpa warisan budaya yang kelihatan. Oleh karena itu, sangat penting bagi keberlangsungan budaya dan ekonomi Nggela, dan Flores seumumnya, bahwa setelah bencana kebakaran besar pada tahun 2018, 22 rumah adat di sana yang terbakar rata tanah mesti dibangun kembali sesegera mungkin.
Pembaruan siklus upacara perladangan direncanakan akan dimulai tahun 2023. Peristiwa ini merupakan prasyarat penting bagi mekar dan berkembangnya budaya dan ekonomi Nggela. Inilah dan masih banyak pemikiran lain yang disajikan dalam buku yang sarat wawasan dan informatif karya RD. Aloysius Ndate. Buku ini mengajukan banyak pertanyaan penting dan memberi banyak jawaban yang tidak kalah penting yang didasarkan pada studi etnografi lisan, termasuk mitos dan cerita rakyat, serta pengamatan cermat atas sistem ekonomi dan upacara. Buku ini seyogianya menjadi bacaan wajib bagi generasi muda Ata Nggela, dapat digunakan sebagai buku pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dan sebagai sumber ilham bagi khalayak pembaca dan khususnya para pemangku kepentingan semisal para pemuka adat di Flores dan sekitarnya. Secara umum, buku ini sangat dianjurkan agar dibaca semua orang, awam maupun pakar, yang tertarik untuk memahami sebuah komunitas kampung di Flores yang memiliki warisan budaya menakjubkan, yang dijangkarkan pada prinsip-prinsip dasar menyangkut cara berpikir dan pergumulan hidup di Indonesia: para leluhur sebagai kunci tradisi dan kesejahteraan di masa lalu dan di masa depan; adat sebagai sistem norma yang terkait dengan para leluhur yang membentuk perekonomian berladang dan menenun, upacara berladang dan upacara siklus hidup, dan kehidupan pada umumnya; serta agama yang dalam hal ini adalah Gereja Katolik.
Judul Seri | - |
No. Panggil | NTT 306.5986833 NDA s |
Penerbit | Penerbit Ledalero : Maumere., 2022 |
Deskripsi Fisik | xxviii + 524 hlm.: ils.; 23 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-623-6724-24-8 |
Klasifikasi | 306.5986833 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Kebudayaan--Lio-Ende |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Aloysius Sato Ndate |
Tidak tersedia versi lain