Detail Cantuman
Text
Bergerak dengan Kewajaran : Antologi Kedua Pemikiran Sudirman Said
1037356201 | 920 SAI b C-1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1037357202 | 920 SAI b C-2 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1037358203 | 920 SAI b C-3 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1037359204 | 920 SAI b C-4 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1037360205 | 920 SAI b C-5 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1037361206 | 920 SAI b C-6 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
MASIHKAH KATA “INDONESIA” DIHUNI OLEH CITA-CITA LUHUR BANGSA? Pada Konferensi Hukum Nasional 2023, seorang hakim MK ‘Mahkamah Konstitusi’ berkata, di seluruh sektor peri-kehidupan dan peri-kebangsaan, terindikasi bahwa saat ini kita tengah bergerak menjauh dari amanat cita-cita luhur sebagaimana termaktub di alinea terakhir Preambule UUD 1945 itu.
“Saya sebetulnya datang ke sini agak malu. Kenapa saya pakai baju hitam? Saya sebagai hakim MK sedang berkabung. Karena, di MK baru saja terjadi prahara,” ungkapnya.
Malu (hirī), bagi para pelaku kewajaran, adalah benteng etik sekaligus alarm mitigasi penangkis virus-virus ketidakwajaran. Malu bahkan menjadi garis-pembeda tegas antara manusia dengan binatang, karena benteng malu terbangun dari
“batu-batu mulia” macam akal-budi, harkat, martabat, kehormatan, keluhuran, etika, moral, norma, susila, kepatutan, dsb.
Tuna-malu (ahirika), dengan demikian, jadi searsiran dengan tuna-susila, tunabudi, hingga bukan-manusia. Etik malu diajarkan di hampir seluruh budaya bangsa kita. Bukankah misi utama dari sekian agama dan nabi pun adalah juga menegakkan etik malu via menempa manusia agar jadi pribadi-pribadi berkewajaran?
Kewajaran, lebih dari anugerah, merupakan hasil dari gladi-latih. Bukanlah kewajaran namanya jika ia hanya berhenti dan berpuas pada, apalagi dimaknai sebagai, kata-kata semata. Ia harus sampai pada manifestasi: aksi nyata.
Kewajaran adalah pelaksanaan kata-kata. Suatu ilmu laku.
Buku ini adalah himpunan catatan/jurnal Sudirman Said soal gerak aksi nyatanya meneguhi jalan berkewajaran atau bermalu di aneka lahan: demokrasi, kepemimpinan, masyarakat madani, integritas, antikorupsi, humanitarian,
pendidikan, kebinekaan, dunia tani, dll.
“Saya sebetulnya datang ke sini agak malu. Kenapa saya pakai baju hitam? Saya sebagai hakim MK sedang berkabung. Karena, di MK baru saja terjadi prahara,” ungkapnya.
Malu (hirī), bagi para pelaku kewajaran, adalah benteng etik sekaligus alarm mitigasi penangkis virus-virus ketidakwajaran. Malu bahkan menjadi garis-pembeda tegas antara manusia dengan binatang, karena benteng malu terbangun dari
“batu-batu mulia” macam akal-budi, harkat, martabat, kehormatan, keluhuran, etika, moral, norma, susila, kepatutan, dsb.
Tuna-malu (ahirika), dengan demikian, jadi searsiran dengan tuna-susila, tunabudi, hingga bukan-manusia. Etik malu diajarkan di hampir seluruh budaya bangsa kita. Bukankah misi utama dari sekian agama dan nabi pun adalah juga menegakkan etik malu via menempa manusia agar jadi pribadi-pribadi berkewajaran?
Kewajaran, lebih dari anugerah, merupakan hasil dari gladi-latih. Bukanlah kewajaran namanya jika ia hanya berhenti dan berpuas pada, apalagi dimaknai sebagai, kata-kata semata. Ia harus sampai pada manifestasi: aksi nyata.
Kewajaran adalah pelaksanaan kata-kata. Suatu ilmu laku.
Buku ini adalah himpunan catatan/jurnal Sudirman Said soal gerak aksi nyatanya meneguhi jalan berkewajaran atau bermalu di aneka lahan: demokrasi, kepemimpinan, masyarakat madani, integritas, antikorupsi, humanitarian,
pendidikan, kebinekaan, dunia tani, dll.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 920 SAI b |
Penerbit | Institut Harkat Negeri : Jakarta., 2023 |
Deskripsi Fisik | lii + 436 hlm.; 20,5 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | - |
Klasifikasi | 920 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | - |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Sudirman Said, Agus Mokamat |
Tidak tersedia versi lain