Detail Cantuman
Text
Aku Terkenang Flores
1037403101 | NTT 275.59868 SAT a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1037404102 | NTT 275.59868 SAT a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1037405103 | NTT 275.59868 SAT a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1037404104 | NTT 275.59868 SAT a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
Buku “Aku Terkenang Flores” pertama kali terbit dengan judul asli I Remember Flores yang diterbitkan oleh Farrar, Straus And Cudahy, New York tahun 1957 yang merupakan karya misionaris Mark Tennien berdasarkan catatan Kapten Tasuku Sato. Dan berselang hampir dua puluh tahun kemudian baru diterbitkan kembali di tempat Sato mengenang Flores dalam edisi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Nusa Indah, Kota Ende. Cetakan pertama pada tahun 1976 dan tahun 2005 untuk cetakan kedua. Pulau Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Nama Flores sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti "bunga".
Dalam buku ini mengisahkan tentang awal kedatangan seorang Komandan Angkatan Laut Kekaisaran Nippon yang mengemban tugas di Wilayah Flores, dia kemudian berkenalan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Flores yang sederhana pasca kejatuhan pemerintah Belanda dan era pendudukan tentara Jepang. Menceritakan hal-hal yang akan dikerjakan dalam wilayah baru ditempatinya, bahkan hingga menuturkan keindahan adat istiadat dan alam dari Bumi Flores yang disajikan dengan bahasa sastrawi. Juga menarik adalah catatan-catatan Sato ketika tinggal di Kota Ende dan perjalanannya mengunjungi kota-kota lain di Pulau Flores dengan eksotikanya.
Tugasnya terutama untuk mengasingkan para misionaris yang dianggap musuh negara yang bisa mendatangkan kerugian pada pendudukan Jepang. Sehingga mengurai kisah persentuhan sang kapten dengan Agama Khatolik, agama yang kemudian dianggapnya sebagai sesuatu yang urgen dalam tatanan masyarakat Flores. Semula Sato berpikir bahwa Flores yang terletak di Lautan Pasifik Selatan tidak terlalu menjadi perhatian atau dianggap tidak penting dalam gejolak perang namun semua itu berbalik ketika Flores juga akhirnya menjadi saksi berkecamuknya perang. Kisah ini kemudian diakhiri dengan berakhirnya Perang Asia Pasfiik yang juga menjadi perang terdasyat yang pernah terjadi di bumi ini. Bagaimana kemudian Sato yang memiliki jiwa patriotik akhirnya mengakhiri tugasnya di Flores dengan miris mengenang kehancuran akibat perang.
Namun kurangnya dalam buku ini adalah bahwa Tasuku Sato, sepertinya tidak mengisahkan banyak bagaimana kehidupan masyarakat di bawah tekanan pendudukan Jepang, bagaimana dengan kekerasan dalam kerja paksa seperti romusha yang tidak sama sekali disinggung dalam catatan memoar ini, dan begitu pula dengan hal-hal buruk yang sempat terjadi dan seolah diabaikan begitu saja, seperti pembangunan jalan-jalan dan perkebunan kopi untuk kepentingan pendudukan oleh Jepang. Namun dibalik itu Tasuku Sato adalah sosok orang Jepang yang secara pribadi memahami konteks sosialogi kemasyarakatan yang tentu menginginkan hal terbaik bagi masyarakat Flores. (*)
Dalam buku ini mengisahkan tentang awal kedatangan seorang Komandan Angkatan Laut Kekaisaran Nippon yang mengemban tugas di Wilayah Flores, dia kemudian berkenalan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Flores yang sederhana pasca kejatuhan pemerintah Belanda dan era pendudukan tentara Jepang. Menceritakan hal-hal yang akan dikerjakan dalam wilayah baru ditempatinya, bahkan hingga menuturkan keindahan adat istiadat dan alam dari Bumi Flores yang disajikan dengan bahasa sastrawi. Juga menarik adalah catatan-catatan Sato ketika tinggal di Kota Ende dan perjalanannya mengunjungi kota-kota lain di Pulau Flores dengan eksotikanya.
Tugasnya terutama untuk mengasingkan para misionaris yang dianggap musuh negara yang bisa mendatangkan kerugian pada pendudukan Jepang. Sehingga mengurai kisah persentuhan sang kapten dengan Agama Khatolik, agama yang kemudian dianggapnya sebagai sesuatu yang urgen dalam tatanan masyarakat Flores. Semula Sato berpikir bahwa Flores yang terletak di Lautan Pasifik Selatan tidak terlalu menjadi perhatian atau dianggap tidak penting dalam gejolak perang namun semua itu berbalik ketika Flores juga akhirnya menjadi saksi berkecamuknya perang. Kisah ini kemudian diakhiri dengan berakhirnya Perang Asia Pasfiik yang juga menjadi perang terdasyat yang pernah terjadi di bumi ini. Bagaimana kemudian Sato yang memiliki jiwa patriotik akhirnya mengakhiri tugasnya di Flores dengan miris mengenang kehancuran akibat perang.
Namun kurangnya dalam buku ini adalah bahwa Tasuku Sato, sepertinya tidak mengisahkan banyak bagaimana kehidupan masyarakat di bawah tekanan pendudukan Jepang, bagaimana dengan kekerasan dalam kerja paksa seperti romusha yang tidak sama sekali disinggung dalam catatan memoar ini, dan begitu pula dengan hal-hal buruk yang sempat terjadi dan seolah diabaikan begitu saja, seperti pembangunan jalan-jalan dan perkebunan kopi untuk kepentingan pendudukan oleh Jepang. Namun dibalik itu Tasuku Sato adalah sosok orang Jepang yang secara pribadi memahami konteks sosialogi kemasyarakatan yang tentu menginginkan hal terbaik bagi masyarakat Flores. (*)
Judul Seri | - |
No. Panggil | NTT 275.59868 SAT a |
Penerbit | Nusa Indah : Ende., 2005 |
Deskripsi Fisik | 224 hlm.; 17,5 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-429-223-0 |
Klasifikasi | 275.59868 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-2 |
Subyek | - |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Tasuku Sato, P. Mark Tennien |
Tidak tersedia versi lain