Detail Cantuman
Text
Amba: Sebuah Novel
1007688101 | 813.3 PAM a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1007689102 | 813.3 PAM a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1007690103 | 813.3 PAM a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1007691104 | 813.3 PAM a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Dalam epik ini, kisah Amba dan Bhisma dalam Mahabharata bertaut (dan bertabrakan) dengan kisah hidup dua orang Indonesia dengan latar kekerasan tahun 1965.
Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Ia meninggalkan kota kecilnya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit.
Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.
Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru.
Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.
Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.
Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru.
Melalui penelitian bertahun-tahun, melalui puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis:
Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.
Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Ia meninggalkan kota kecilnya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit.
Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.
Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru.
Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.
Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.
Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru.
Melalui penelitian bertahun-tahun, melalui puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis:
Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 813.3 PAM a |
Penerbit | Gramedia Pustaka Utama : Jakarta., 2012 |
Deskripsi Fisik | 494 hlm.; 23 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-22-8879-2 |
Klasifikasi | 813.3 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Novel |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Laksmi Pamuntjak |
Tidak tersedia versi lain