Detail Cantuman
Text
Militansi dan Toleransi: Refleksi Teologis Atas Rahmat Sakramen Baptis
1008993101 | 265 SUJ m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1008994102 | 265 SUJ m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Setiap pemeluk agama berkeyakinan bahwa ajaran agamanya adalah benar, atau bahkan yang paling benar. Ajaran itu bukan hanya diyakini sebagai benar melainkan juga sebagai pembawa kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akherat. Kalau suatu ajaran hanya benar saja, tetapi tidak membawa keselamatan dan kebahagiaan, apalah artinya? Benar berkaitan dengan kenyataan di akherat yang ditunjuk oleh ajaran Agama itu. Kebahagiaan dan keselamatan berkaitan dengan pengalaman orang. Orangnya merasakan bahwa iman dalam agamanya membahagiakan dan menyelamatkannya, baik di dunia maupun di akherat nanti.
Bahwa orang beragama menganggap agamanya yang paling benar tidak usah mengherankan kita. Dalam pergaulan antar umat beriman sering terjadi saling curiga dan saling “mengkafirkan” di antara kelompok- penganut agama. Di antara para pemeluk agama adalah sah untuk mengklaim bahwa agama yang diyakini adalah yang paling benar. Kalau demikian, maka secara logis harus disimpulkan bahwa agama orang lain adalah tidak benar untuk dia. Karena baginya, hanya agamanyalah yang paling benar. Kalau tidak demikian, maka tentu saja ia akan pindah. Sikap ini mungkin lebih tepat disebut militansi, bukan fanatisme. Militansi masih terbuka bagi toleransi, sedangkan fanatisme sama sekali tidak ada ruang bagi toleransi.
Orang yang mengatakan bahwa agamanya adalah yang benar, sehingga agama orang lain adalah tidak benar untuk dia adalah sikap yang sangat wajar dan bisa dimengerti. Bahkan perlu ditegaskan bahwa memang sudah seharusnya demikian bagi setiap orang yang sungguh-sungguh beriman. Dengan catatan asal penghayatan itu hanya dalam tataran batin sebagai suatu sikap iman pribadi. Menjadi tidak benar kalau sikap itu dituduhkan secara langsung kepada penganut agama lain. Mengikuti hati nurani dalam memegang teguh kebenaran yang diyakininya adalah penting dan merupakan kewajiban mutlak. Melawan hati nurani adalah dosa.
Sikap yang perlu dibangun dalam kehidupan bersama ialah sikap menghormati pribadi seseorang secara utuh dan dengan tulus iklhas, termasuk dalam hal imannya. Kalau kita bergaul dengan sesama manusia apa adanya, maka kita akan berjumpa dengannya sebagai seorang pribadi nyata, termasuk agama yang dipeluknya. Bahkan mungkin ia sudah lahir dari keluarga yang memiliki tradisi agama itu secara turun temurun sejak nenek moyang mereka. Kita harus mengembangkan sikap menghargai seseorang sebagai pribadi yang sama dengan saya. Agama yang dipeluk seseorang itu adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Bahkan dalam pergaulan yang nyata setiap hari, masalah perbedaan agama akan menjadi cair dengan sendirinya dalam sikap-sikap kepatutan dalam sopan santun pergaulan antar warga masyarakat. Sikap ramah dan senyuman yang ikhlas akan mendekatkan manusia satu sama lain, tidak peduli dengan perbedaan ras dan agama.
Bagian pertama buku ini menyajikan perkembangan pemikiran tentang perlunya baptisan bagi keselamatan. Perlunya baptisan bagi keselamatan dalam sejarah Gereja pernah diungkapkan dengan semboyan extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Maka kalau orang mau selamat, ia harus mau dibaptis dan rela dimasukkan ke dalam keanggotaan Gereja. Namun semboyan itu bisa merupakan arogansi kekristenan yang pada zaman sekarang ini terasa tidak simpatik dan tidak bijaksana. Masalah ini harus menjadi jelas bagi kita supaya kita dapat memahami duduk persoalannya dengan baik. Kekaburan pengertian dalam soal ini dapat mengakibatkan sikap fanatik berlebihan ataupun sikap relativistis yang tidak bertanggungjawab.
Buku ini dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran teologis di bidang sikap orang Kristen terhadap orang bukan Kristen. Sikap itu secara langsung berkaitan dengan teologi baptisan yang membuat pengelompokan antara orang dibaptis (baptizati) dan orang tidak dibaptis (non-baptizati). Kita akan melihat bagaimana para teolog berusaha untuk memecahkan persoalan perlunya baptisan bagi orang kristiani dari satu pihak dan tidak perlunya baptisan bagi orang non-kristiani dari lain pihak.
Bahwa orang beragama menganggap agamanya yang paling benar tidak usah mengherankan kita. Dalam pergaulan antar umat beriman sering terjadi saling curiga dan saling “mengkafirkan” di antara kelompok- penganut agama. Di antara para pemeluk agama adalah sah untuk mengklaim bahwa agama yang diyakini adalah yang paling benar. Kalau demikian, maka secara logis harus disimpulkan bahwa agama orang lain adalah tidak benar untuk dia. Karena baginya, hanya agamanyalah yang paling benar. Kalau tidak demikian, maka tentu saja ia akan pindah. Sikap ini mungkin lebih tepat disebut militansi, bukan fanatisme. Militansi masih terbuka bagi toleransi, sedangkan fanatisme sama sekali tidak ada ruang bagi toleransi.
Orang yang mengatakan bahwa agamanya adalah yang benar, sehingga agama orang lain adalah tidak benar untuk dia adalah sikap yang sangat wajar dan bisa dimengerti. Bahkan perlu ditegaskan bahwa memang sudah seharusnya demikian bagi setiap orang yang sungguh-sungguh beriman. Dengan catatan asal penghayatan itu hanya dalam tataran batin sebagai suatu sikap iman pribadi. Menjadi tidak benar kalau sikap itu dituduhkan secara langsung kepada penganut agama lain. Mengikuti hati nurani dalam memegang teguh kebenaran yang diyakininya adalah penting dan merupakan kewajiban mutlak. Melawan hati nurani adalah dosa.
Sikap yang perlu dibangun dalam kehidupan bersama ialah sikap menghormati pribadi seseorang secara utuh dan dengan tulus iklhas, termasuk dalam hal imannya. Kalau kita bergaul dengan sesama manusia apa adanya, maka kita akan berjumpa dengannya sebagai seorang pribadi nyata, termasuk agama yang dipeluknya. Bahkan mungkin ia sudah lahir dari keluarga yang memiliki tradisi agama itu secara turun temurun sejak nenek moyang mereka. Kita harus mengembangkan sikap menghargai seseorang sebagai pribadi yang sama dengan saya. Agama yang dipeluk seseorang itu adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Bahkan dalam pergaulan yang nyata setiap hari, masalah perbedaan agama akan menjadi cair dengan sendirinya dalam sikap-sikap kepatutan dalam sopan santun pergaulan antar warga masyarakat. Sikap ramah dan senyuman yang ikhlas akan mendekatkan manusia satu sama lain, tidak peduli dengan perbedaan ras dan agama.
Bagian pertama buku ini menyajikan perkembangan pemikiran tentang perlunya baptisan bagi keselamatan. Perlunya baptisan bagi keselamatan dalam sejarah Gereja pernah diungkapkan dengan semboyan extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Maka kalau orang mau selamat, ia harus mau dibaptis dan rela dimasukkan ke dalam keanggotaan Gereja. Namun semboyan itu bisa merupakan arogansi kekristenan yang pada zaman sekarang ini terasa tidak simpatik dan tidak bijaksana. Masalah ini harus menjadi jelas bagi kita supaya kita dapat memahami duduk persoalannya dengan baik. Kekaburan pengertian dalam soal ini dapat mengakibatkan sikap fanatik berlebihan ataupun sikap relativistis yang tidak bertanggungjawab.
Buku ini dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran teologis di bidang sikap orang Kristen terhadap orang bukan Kristen. Sikap itu secara langsung berkaitan dengan teologi baptisan yang membuat pengelompokan antara orang dibaptis (baptizati) dan orang tidak dibaptis (non-baptizati). Kita akan melihat bagaimana para teolog berusaha untuk memecahkan persoalan perlunya baptisan bagi orang kristiani dari satu pihak dan tidak perlunya baptisan bagi orang non-kristiani dari lain pihak.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 265 SUJ m |
Penerbit | Kanisius : Yogyakarta., 2016 |
Deskripsi Fisik | 164 hlm.; 23 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-21-3271-7 |
Klasifikasi | 265 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan Ke-5 |
Subyek | Sakramen Baptis |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Albertus Sujoko |
Tidak tersedia versi lain