Detail Cantuman
Text
Hak-hak Asasi Manusia: Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik
1009316101 | 341.48 HAK h 1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1009317102 | 341.48 HAK h 1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1009318103 | 341.48 HAK h 1 | KAMPUS MAUMERE | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
Perbincangan tentang hak asasi manusia bisa terbedakan dalam tiga ranah. Yang pertama adalah ranah filosofis, termasuk etis, yang lebih bersifat abstrak. Yang kedua adalah ranah yuridis, dari yang bersifat deklaratif seperti Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia atau DUHAM sampai ke peraturan-peraturan daerah atau malah aturan yang lebih rendah. Yang ketiga adalah ranah praktis aplikatif dan biasanya bersifat politis. Ketiganya terkait meski punya ciri khas dan kompleksitasnya masing-masing. Hanya, pembedaan tetap penting agar pembicaraan bisa lebih nyambung.
Terkait dengan hal itu, ada diskusi panjang pula di dalamnya. Karena itu, penerbitan buku dokumentasi diskusi yang terpisah, demi kedalaman dan kekayaan nuansa, menjadi sangat bermakna. Hal inilah yang pertama-tama layak dihargai dalam penerjemahan dan penerbitan artikel-artikel tentang HAM dalam ranah pertama dalam dua buku yang berjudul Hak-hak Asasi Manusia: Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (jilid 1). serta Hak-hak Asasi Manusia: Aneka Suara dan Pandangan (jilid 2). Dengan artikel-artikel yang berisi segala macam argumentasi dan perdebatan wacana HAM ini pembaca diharapkan mempunyai wawasan yang luas dan dalam tentang HAM, yang memberi “ruang bernapas lebih” dalam memahami dan menerapkan HAM.
Pendasaran dan Makna HAM
Wacana HAM dalam ranah filosofis memperbincangkan pemaknaan dan pendasaran HAM. Karena itu, titik tolaknya adalah beberapa pertanyaan pokok, seperti siapakah manusia, apa esensi manusia, apa arti hak, dan apa dan mengapa asasi. Muaranya adalah suatu imperatif etis yang menunjuk pada tindakan yang seharusnya bagi manusia.
Hal-hal itulah yang diperdebatkan dalam delapan tulisan dalam buku jilid 1. Ada beberapa nama pemikir yang cukup terkenal dalam deretan ini, seperti Jack Mahoney, Joseph Raz, dan Ronald Dworkin. Dua penulis terakhir memang lebih dikenal sebagai filosof hukum sehingga keduanya mengaitkan refleksi tentang HAM ini dengan bidang keahlian mereka itu.
Joseph Raz menulis tentang hakikat hak-hak. Dalam tulisannya itu ia menguraikan kompleksitas pemahaman tentang hak, mulai dari maknanya, hierarkinya, hubungannya dengan kewajiban, dan juga dengan kepentingan, serta pribadi yang mempunyai hak. Refleksi ini dilanjutkan oleh Joel Feinberg dalam tulisan berikutnya dan ditempatkan dalam konteks hidup bernegara oleh Dworkin. Tentang hak ini, setidaknya memang perlu dipahami adanya dua konsep dasar. Yang pertama hak dilihat sebagai kebebasan (freedom). Karena fokusnya adalah pribadi yang mempunyainya, dan karena kebebasan bisa berarti “bebas dari” dan “bebas untuk”, pihak lain pada dasarnya bersifat pasif dalam menjamin hak ini. Inilah paham hak dari kubu liberal.
Di lain pihak, ada paham—yang biasanya diasosiasikan dengan paham kubu sosialis—bahwa hak lebih berarti entitlement atau berhak dalam relasinya dengan pihak lain. Karena itu, pihak lain mempunyai kewajiban positif terhadap pihak yang mempunyai hak.
Dalam ketegangan dua makna hak ini, negara perlu secara serius mendalaminya supaya bisa bersikap dan bertindak dengan lebih tepat terhadap warganya. Relasi ini memang bersifat kontekstual, tetapi ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan ukuran obyektif. Dworkin menawarkan beberapa gagasan agar negara tidak terlalu naif dan juga tidak terlalu keras terhadap warganya. Dalam penerapan kontekstual ini, ada toleransi yang memang diberikan, sesuai situasi dan kondisi masing-masing negara, yang dalam bahasa Konvensi Eropa biasa disebut the margin of appreciation.
Dalam kehidupan masyarakat untuk berbangsa secara modern, HAM lalu menjadi landasan minimal dari setiap kompromi kebijakan yang bermuara pada hukum. Inilah yang ditekankan John Rawls dalam tulisannya, yang dia tawarkan sebagai tolok ukur “derajat keadilan” dari hukum internasional. Dengan kata lain, HAM menjadi inti dari sehimpunan gagasan politik yang mutlak diperhatikan dalam merumuskan kebijakan umum, baik tingkat nasional maupun internasional.
Pluralitas Pemahaman
Yang menjadi salah satu persoalan pokok dari wacana di ranah ini adalah pluralitas tafsir atas manusia. Di satu sisi, tafsir selalu bersifat subyektif karena tafsir tidak mungkin bebas nilai. Tafsir selalu dipengaruhi oleh kepentingan ataupun premis yang sudah dibawa oleh si penafsir, seturut pepatah Latin quidquid recipitur, recipitur ad modum recipientis (hal-hal yang diterima, diterima seturut cara dari si penerima).
Di lain pihak, manusia sebagai sebuah “obyek” selalu terkait dengan konteks, baik itu konteks ruang maupun konteks waktu. Dalam hal ini, tafsir atas konteks itu pun memengaruhi permenungan atau refleksi tentang esensi manusia. Tidak gampang menentukan apakah konteks itu sekadar menjadi variabel sekunder bagi manusia, atau semacam konstanta yang juga menentukan jati-diri manusia itu. Yang jelas, konteks lalu memengaruhi skala prioritas.
Hal inilah yang kemudian menjadi latar dari perdebatan tentang universalitas dan relativitas nilai-nilai HAM. Buku jilid 2 lebih berfokus pada masalah ini. Ada delapan belas tulisan yang dihimpun dalam buku jilid 2 ini, yang dibagi dalam empat kategori. Selain diantar oleh penyunting dengan tulisannya pengantarnya, rangkaian tulisan itu diawali dengan tulisan Steven Lukes tentang lima pandangan tentang HAM, yang dikemas dalam lima perumpamaan atau fabel. Tulisan ini lalu memberi cakrawala persoalan yang mau diangkat dalam kumpulan karangan jilid kedua ini. Salah satu pengandaian dasarnya adalah keunikan manusia vis-á-vis manusia lain atau juga masyarakat.
Meski memang unik dan berbeda, bahwa manusia itu bisa saling berinteraksi, memberi indikasi bahwa ada kesamaan hakiki antarmereka. Inilah yang dicari dalam ranah filosofis ini. Hanya, karena manusia adalah makhluk yang terus menjadi, refleksi filosofis atas manusia juga tak kan pernah purna. Perkembangan baru akan membuka peluang pada dekonstruksi paradigma lama atau pembongkaran “cerita-cerita besar” untuk bisa menampung perkembangan itu.
Persis di sinilah masalahnya. Di satu sisi ada kecenderungan manusia untuk bisa membuat “cerita bersama” untuk memayungi hidup bersama itu. Di sisi lain, akan selalu ada ketidakpuasan orang atas cerita besar itu. Dinamika ini pulalah yang membuat wacana pada ranah pertama ini akan selalu bergerak dan menarik untuk terus disimak.
Dalam hal pendasaran HAM pun ternyata ada beberapa perbedaan (kategori tulisan pertama) meski juga perlu dicari pendasaran yang bisa diterima semua pihak walau mungkin berarti kompromi. Kumpulan karangan ini mencantumkan tiga tulisan menarik sehubungan dengan masalah ini, yaitu tulisan Jürgen Habermas yang berjudul Beberapa Catatan tentang Legitimasi Yang Berdasar pada Hak-hak Asasi Manusia, tulisan Richard Rorty berjudul Hak-hak Asasi Manusia, Rasionalitas dan Sentimentalitas, serta Emanuel Levinas dengan Hak-hak Seorang Manusia dan Hak-hak Orang lain. Dengan pengandaiannya tentang relasi individu manusia dengan masyarakatnya, masing-masing menarik kesimpulan tentang pentingnya hak-hak asasi manusia.
Kalau dalam dua kategori berikutnya (dua dan tiga) diurai relativitas HAM dalam konteks kultural dan konteks agama, bagian terakhir buku ini memaparkan perdebatan tentang kaitan HAM dengan demokrasi. Perdebatan tentang hal ini menjadi penting karena otonomi individu yang makin menguat. Secara singkat, dalam kompleksitas dan heterogenitas masyarakat itu, HAM bisa menjadi bahasa yang universal yang bisa menjadi titik pijak kebersamaan agar tak terjadi anarki. Pemahaman ini cukup umum, tetapi masih ada perdebatan tentang derajat kepentingannya dan bagaimana penerapannya.
Plus-minus
Sekali lagi, buku ini pantas dibaca sebagai pengayaan cakrawala filosofis dalam perkara HAM. Karena menawarkan banyak gagasan yang mendasar, buku ini tidak hanya penting bagi para “penggiat” HAM dalam ranah pertama. Para penggiat dan praktisi HAM pada ranah yuridis dan praktis (politis) juga penting membacanya agar tidak kehilangan arah walau kedua buku ini tidak tanpa kelemahan.
Kelemahan pokok buku ini umum terjadi dalam buku-buku terjemahan. Traductor traditor est (Latin), atau a translator is a traitor. Ungkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna. Pasti ada unsur “pengkhianatan” di dalamnya, secuil apa pun. Demikian pula dalam buku ini yang, antara lain, tampak beberapa kalimat panjang yang tidak gampang dipahami. Sebaiknya, kalimat panjang dalam versi bahasa asli dipecah menjadi kalimat yang lebih pendek agar lebih “nyaman” bagi pembaca dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, latar belakang penerjemah yang lebih berlatar belakang filsafat menyebabkan beberapa istilah teknis yuridis agak meleset diterjemahkan. Misalnya, covenant, yang dalam bahasa teknis yuridis internasional hanya dipakai untuk kedua kovenan “babon” (ICCPR dan ICESCR), diterjemahkan menjadi konvensi. Padahal, konvensi biasanya menunjuk pada “anak-anak” dari kovenan. Benar, terjemahan itu tidak sangat mengganggu, tetapi ketelitian dan ketepatan pasti akan lebih membantu!
Terkait dengan hal itu, ada diskusi panjang pula di dalamnya. Karena itu, penerbitan buku dokumentasi diskusi yang terpisah, demi kedalaman dan kekayaan nuansa, menjadi sangat bermakna. Hal inilah yang pertama-tama layak dihargai dalam penerjemahan dan penerbitan artikel-artikel tentang HAM dalam ranah pertama dalam dua buku yang berjudul Hak-hak Asasi Manusia: Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (jilid 1). serta Hak-hak Asasi Manusia: Aneka Suara dan Pandangan (jilid 2). Dengan artikel-artikel yang berisi segala macam argumentasi dan perdebatan wacana HAM ini pembaca diharapkan mempunyai wawasan yang luas dan dalam tentang HAM, yang memberi “ruang bernapas lebih” dalam memahami dan menerapkan HAM.
Pendasaran dan Makna HAM
Wacana HAM dalam ranah filosofis memperbincangkan pemaknaan dan pendasaran HAM. Karena itu, titik tolaknya adalah beberapa pertanyaan pokok, seperti siapakah manusia, apa esensi manusia, apa arti hak, dan apa dan mengapa asasi. Muaranya adalah suatu imperatif etis yang menunjuk pada tindakan yang seharusnya bagi manusia.
Hal-hal itulah yang diperdebatkan dalam delapan tulisan dalam buku jilid 1. Ada beberapa nama pemikir yang cukup terkenal dalam deretan ini, seperti Jack Mahoney, Joseph Raz, dan Ronald Dworkin. Dua penulis terakhir memang lebih dikenal sebagai filosof hukum sehingga keduanya mengaitkan refleksi tentang HAM ini dengan bidang keahlian mereka itu.
Joseph Raz menulis tentang hakikat hak-hak. Dalam tulisannya itu ia menguraikan kompleksitas pemahaman tentang hak, mulai dari maknanya, hierarkinya, hubungannya dengan kewajiban, dan juga dengan kepentingan, serta pribadi yang mempunyai hak. Refleksi ini dilanjutkan oleh Joel Feinberg dalam tulisan berikutnya dan ditempatkan dalam konteks hidup bernegara oleh Dworkin. Tentang hak ini, setidaknya memang perlu dipahami adanya dua konsep dasar. Yang pertama hak dilihat sebagai kebebasan (freedom). Karena fokusnya adalah pribadi yang mempunyainya, dan karena kebebasan bisa berarti “bebas dari” dan “bebas untuk”, pihak lain pada dasarnya bersifat pasif dalam menjamin hak ini. Inilah paham hak dari kubu liberal.
Di lain pihak, ada paham—yang biasanya diasosiasikan dengan paham kubu sosialis—bahwa hak lebih berarti entitlement atau berhak dalam relasinya dengan pihak lain. Karena itu, pihak lain mempunyai kewajiban positif terhadap pihak yang mempunyai hak.
Dalam ketegangan dua makna hak ini, negara perlu secara serius mendalaminya supaya bisa bersikap dan bertindak dengan lebih tepat terhadap warganya. Relasi ini memang bersifat kontekstual, tetapi ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan ukuran obyektif. Dworkin menawarkan beberapa gagasan agar negara tidak terlalu naif dan juga tidak terlalu keras terhadap warganya. Dalam penerapan kontekstual ini, ada toleransi yang memang diberikan, sesuai situasi dan kondisi masing-masing negara, yang dalam bahasa Konvensi Eropa biasa disebut the margin of appreciation.
Dalam kehidupan masyarakat untuk berbangsa secara modern, HAM lalu menjadi landasan minimal dari setiap kompromi kebijakan yang bermuara pada hukum. Inilah yang ditekankan John Rawls dalam tulisannya, yang dia tawarkan sebagai tolok ukur “derajat keadilan” dari hukum internasional. Dengan kata lain, HAM menjadi inti dari sehimpunan gagasan politik yang mutlak diperhatikan dalam merumuskan kebijakan umum, baik tingkat nasional maupun internasional.
Pluralitas Pemahaman
Yang menjadi salah satu persoalan pokok dari wacana di ranah ini adalah pluralitas tafsir atas manusia. Di satu sisi, tafsir selalu bersifat subyektif karena tafsir tidak mungkin bebas nilai. Tafsir selalu dipengaruhi oleh kepentingan ataupun premis yang sudah dibawa oleh si penafsir, seturut pepatah Latin quidquid recipitur, recipitur ad modum recipientis (hal-hal yang diterima, diterima seturut cara dari si penerima).
Di lain pihak, manusia sebagai sebuah “obyek” selalu terkait dengan konteks, baik itu konteks ruang maupun konteks waktu. Dalam hal ini, tafsir atas konteks itu pun memengaruhi permenungan atau refleksi tentang esensi manusia. Tidak gampang menentukan apakah konteks itu sekadar menjadi variabel sekunder bagi manusia, atau semacam konstanta yang juga menentukan jati-diri manusia itu. Yang jelas, konteks lalu memengaruhi skala prioritas.
Hal inilah yang kemudian menjadi latar dari perdebatan tentang universalitas dan relativitas nilai-nilai HAM. Buku jilid 2 lebih berfokus pada masalah ini. Ada delapan belas tulisan yang dihimpun dalam buku jilid 2 ini, yang dibagi dalam empat kategori. Selain diantar oleh penyunting dengan tulisannya pengantarnya, rangkaian tulisan itu diawali dengan tulisan Steven Lukes tentang lima pandangan tentang HAM, yang dikemas dalam lima perumpamaan atau fabel. Tulisan ini lalu memberi cakrawala persoalan yang mau diangkat dalam kumpulan karangan jilid kedua ini. Salah satu pengandaian dasarnya adalah keunikan manusia vis-á-vis manusia lain atau juga masyarakat.
Meski memang unik dan berbeda, bahwa manusia itu bisa saling berinteraksi, memberi indikasi bahwa ada kesamaan hakiki antarmereka. Inilah yang dicari dalam ranah filosofis ini. Hanya, karena manusia adalah makhluk yang terus menjadi, refleksi filosofis atas manusia juga tak kan pernah purna. Perkembangan baru akan membuka peluang pada dekonstruksi paradigma lama atau pembongkaran “cerita-cerita besar” untuk bisa menampung perkembangan itu.
Persis di sinilah masalahnya. Di satu sisi ada kecenderungan manusia untuk bisa membuat “cerita bersama” untuk memayungi hidup bersama itu. Di sisi lain, akan selalu ada ketidakpuasan orang atas cerita besar itu. Dinamika ini pulalah yang membuat wacana pada ranah pertama ini akan selalu bergerak dan menarik untuk terus disimak.
Dalam hal pendasaran HAM pun ternyata ada beberapa perbedaan (kategori tulisan pertama) meski juga perlu dicari pendasaran yang bisa diterima semua pihak walau mungkin berarti kompromi. Kumpulan karangan ini mencantumkan tiga tulisan menarik sehubungan dengan masalah ini, yaitu tulisan Jürgen Habermas yang berjudul Beberapa Catatan tentang Legitimasi Yang Berdasar pada Hak-hak Asasi Manusia, tulisan Richard Rorty berjudul Hak-hak Asasi Manusia, Rasionalitas dan Sentimentalitas, serta Emanuel Levinas dengan Hak-hak Seorang Manusia dan Hak-hak Orang lain. Dengan pengandaiannya tentang relasi individu manusia dengan masyarakatnya, masing-masing menarik kesimpulan tentang pentingnya hak-hak asasi manusia.
Kalau dalam dua kategori berikutnya (dua dan tiga) diurai relativitas HAM dalam konteks kultural dan konteks agama, bagian terakhir buku ini memaparkan perdebatan tentang kaitan HAM dengan demokrasi. Perdebatan tentang hal ini menjadi penting karena otonomi individu yang makin menguat. Secara singkat, dalam kompleksitas dan heterogenitas masyarakat itu, HAM bisa menjadi bahasa yang universal yang bisa menjadi titik pijak kebersamaan agar tak terjadi anarki. Pemahaman ini cukup umum, tetapi masih ada perdebatan tentang derajat kepentingannya dan bagaimana penerapannya.
Plus-minus
Sekali lagi, buku ini pantas dibaca sebagai pengayaan cakrawala filosofis dalam perkara HAM. Karena menawarkan banyak gagasan yang mendasar, buku ini tidak hanya penting bagi para “penggiat” HAM dalam ranah pertama. Para penggiat dan praktisi HAM pada ranah yuridis dan praktis (politis) juga penting membacanya agar tidak kehilangan arah walau kedua buku ini tidak tanpa kelemahan.
Kelemahan pokok buku ini umum terjadi dalam buku-buku terjemahan. Traductor traditor est (Latin), atau a translator is a traitor. Ungkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna. Pasti ada unsur “pengkhianatan” di dalamnya, secuil apa pun. Demikian pula dalam buku ini yang, antara lain, tampak beberapa kalimat panjang yang tidak gampang dipahami. Sebaiknya, kalimat panjang dalam versi bahasa asli dipecah menjadi kalimat yang lebih pendek agar lebih “nyaman” bagi pembaca dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, latar belakang penerjemah yang lebih berlatar belakang filsafat menyebabkan beberapa istilah teknis yuridis agak meleset diterjemahkan. Misalnya, covenant, yang dalam bahasa teknis yuridis internasional hanya dipakai untuk kedua kovenan “babon” (ICCPR dan ICESCR), diterjemahkan menjadi konvensi. Padahal, konvensi biasanya menunjuk pada “anak-anak” dari kovenan. Benar, terjemahan itu tidak sangat mengganggu, tetapi ketelitian dan ketepatan pasti akan lebih membantu!
Judul Seri | - |
No. Panggil | 341.48 HAK h 1 |
Penerbit | Penerbit Ledalero : Maumere., 2004 |
Deskripsi Fisik | xxvi + 371 hlm.; 22,5 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-9447-82-8 |
Klasifikasi | 341.48 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan Ke-1 |
Subyek | Hak Asasi Manusia |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Frans Ceunfin (Editor) |
Tidak tersedia versi lain