Detail Cantuman
Text
Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak Terelakkan
1010326101 | 303.45 MAH a | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Dalam bukunya, Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan, Kishore Mahbubani mengulas dengan bukti-bukti keberhasilan negara di Asia yang berkembang menjadi kekuatan utama dunia, terutama China dan India. Namun, yang menjadi ironi adalah ketika kekuatan-kekuatan baru dari Asia itu tumbuh dengan mengadopsi nilai-nilai Barat, kini justru Barat mulai merasa terancam dan gamang dengan nilai-nilai yang selama ini mereka agung-agungkan.
China dan India sekarang ini tumbuh mengglobal dengan berlandaskan pada tujuh pilar kebajikan Barat, yaitu pasar bebas, ilmu pengetahuan dan teknologi, meritokrasi, budaya enticement, budaya perdamaian, penegakan hukum, dan pendidikan.
March to Modernity (bergerak menuju modernitas) menjadi kata kunci yang dipakai oleh Mahbubani untuk menggambarkan proses panjang perubahan Asia dari kawasan yang “tertinggal” menjadi kekuatan dunia yang disegani. Masyarakat Asia, melalui tujuh pilar tersebut, memperbaiki ketertinggalan di berbagai bidang.
Mahbubani, dosen dan profesor kebijakan publik di Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura, menilai sekarang ini saatnya Asia memegang peranan penting dalam percaturan global, baik politik maupun ekonomi. Di bidang geopolitik, Mahbubani mencontohkan bagaimana China bisa menggandeng negara di kawasan untuk tumbuh bersama.
China berhasil merangkul negara-negara di Asia Tenggara untuk membentuk free trade agreement (FTA), sementara di sisi lain, Barat, yang dikomandoi Amerika Serikat, justru mengajak sekutu-sekutunya mengobarkan peperangan dan kehancuran di Irak dan Afghanistan.
Setelah era Perang Dingin, belum pernah terjadi perang skala besar yang melibatkan negara di Asia. Negara-negara Asia lebih mengutamakan perdamaian alih-alih pertikaian. Friksi-friksi di kawasan Asia bisa diselesaikan dengan diplomasi. Itulah implementasi dari pilar budaya perdamaian.
Sementara itu, dalam kasus hubungan Amerika Serikat dan Iran, yang hingga kini tidak menjalin hubungan sejak 1979, Mahbubani melihat Amerika Serikat tidak mengedepankan pendekatan diplomasi. Kemudian terkait konflik Palestina-Israel, Amerika Serikat juga diyakini berat sebelah mendukung Israel karena kuatnya tekanan politik.
Di bidang ekonomi, Asia sudah mampu berkembang menjadi pasar yang terbuka, menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi global. Lagi-lagi, Mahbubani mengambil contoh paling mengagumkan di Asia, yaitu China dan India. Betapa tidak, kedua negara itu mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia, sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat terseok-seok.
Di saat Asia membuka diri, justru Barat yang tampaknya semakin menutup diri. Sesuatu yang kontras dengan salah satu pilar kebajikan Barat, yaitu pasar bebas. Eropa dan Amerika Serikat sibuk melakukan proteksi untuk melindungi kepentingannya, namun di saat bersamaan, mendukung liberalisasi pasar.
Melalui bukunya, Mahbubani juga mengkritik Barat yang tidak bisa menerima kemajuan Asia karena sudah menanamkan di pemikiran mereka bahwa Barat adalah peradaban superior, tidak ada lagi peradaban yang lebih tinggi selain Barat. Mahbubani mendesak Barat menerima Asia dengan kemajuan-kemajuannya, bukannya malah menganggap Asia sebagai ancaman.
Karena kritiknya ini, Mahbubani mengaku sebagian kalangan di Barat mengecam bukunya sebagai karya yang menyebarkan sentimen anti-Barat. Sekali lagi, Mahbubani membuktikan bagaimana Barat tidak mau diusik kemapanannya sebagai kekuatan dominan di dunia sejak Perang Dunia II.
China dan India sekarang ini tumbuh mengglobal dengan berlandaskan pada tujuh pilar kebajikan Barat, yaitu pasar bebas, ilmu pengetahuan dan teknologi, meritokrasi, budaya enticement, budaya perdamaian, penegakan hukum, dan pendidikan.
March to Modernity (bergerak menuju modernitas) menjadi kata kunci yang dipakai oleh Mahbubani untuk menggambarkan proses panjang perubahan Asia dari kawasan yang “tertinggal” menjadi kekuatan dunia yang disegani. Masyarakat Asia, melalui tujuh pilar tersebut, memperbaiki ketertinggalan di berbagai bidang.
Mahbubani, dosen dan profesor kebijakan publik di Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura, menilai sekarang ini saatnya Asia memegang peranan penting dalam percaturan global, baik politik maupun ekonomi. Di bidang geopolitik, Mahbubani mencontohkan bagaimana China bisa menggandeng negara di kawasan untuk tumbuh bersama.
China berhasil merangkul negara-negara di Asia Tenggara untuk membentuk free trade agreement (FTA), sementara di sisi lain, Barat, yang dikomandoi Amerika Serikat, justru mengajak sekutu-sekutunya mengobarkan peperangan dan kehancuran di Irak dan Afghanistan.
Setelah era Perang Dingin, belum pernah terjadi perang skala besar yang melibatkan negara di Asia. Negara-negara Asia lebih mengutamakan perdamaian alih-alih pertikaian. Friksi-friksi di kawasan Asia bisa diselesaikan dengan diplomasi. Itulah implementasi dari pilar budaya perdamaian.
Sementara itu, dalam kasus hubungan Amerika Serikat dan Iran, yang hingga kini tidak menjalin hubungan sejak 1979, Mahbubani melihat Amerika Serikat tidak mengedepankan pendekatan diplomasi. Kemudian terkait konflik Palestina-Israel, Amerika Serikat juga diyakini berat sebelah mendukung Israel karena kuatnya tekanan politik.
Di bidang ekonomi, Asia sudah mampu berkembang menjadi pasar yang terbuka, menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi global. Lagi-lagi, Mahbubani mengambil contoh paling mengagumkan di Asia, yaitu China dan India. Betapa tidak, kedua negara itu mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia, sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat terseok-seok.
Di saat Asia membuka diri, justru Barat yang tampaknya semakin menutup diri. Sesuatu yang kontras dengan salah satu pilar kebajikan Barat, yaitu pasar bebas. Eropa dan Amerika Serikat sibuk melakukan proteksi untuk melindungi kepentingannya, namun di saat bersamaan, mendukung liberalisasi pasar.
Melalui bukunya, Mahbubani juga mengkritik Barat yang tidak bisa menerima kemajuan Asia karena sudah menanamkan di pemikiran mereka bahwa Barat adalah peradaban superior, tidak ada lagi peradaban yang lebih tinggi selain Barat. Mahbubani mendesak Barat menerima Asia dengan kemajuan-kemajuannya, bukannya malah menganggap Asia sebagai ancaman.
Karena kritiknya ini, Mahbubani mengaku sebagian kalangan di Barat mengecam bukunya sebagai karya yang menyebarkan sentimen anti-Barat. Sekali lagi, Mahbubani membuktikan bagaimana Barat tidak mau diusik kemapanannya sebagai kekuatan dominan di dunia sejak Perang Dunia II.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 303.45 MAH a |
Penerbit | Kompas Media Nusantara : Jakarta., 2011 |
Deskripsi Fisik | xx + 363 hlm.; 23 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-709-608-3 |
Klasifikasi | 303.45 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan Ke-1 |
Subyek | Globalisasi |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Kishore Mahbubani |
Tidak tersedia versi lain