Detail Cantuman
Text
Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, SDampai Putra Sang Fajar, Bung Karno
1010728101 | 320.4 DHA m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1010729102 | 320.4 DHA m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1010730103 | 320.4 DHA m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-02-26) |
1033625204 | 320.4 DHA m C-4 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Kekuasaan dan relasi kekuasaan bermain di dalam hidup para tokoh yang dibahas buku ini. Mereka adalah tokoh utama dan “bukan utama”, yang membuat sejarah, dalam arti seluas-luasnya. Dalam buku ini, sejarah besar sebagai narasi besar diambil-alih dan dimainkan dalam sejarah kecil dan narasi kecil menurut perannya masing-masing—yang tinggi dan rendah, terpandang dan tidak terpandang, dan dalam dunia terang dan gelap.
Semua tokoh yang dibahas dalam buku ini berada dalam satu Keranjang yaitu perlawanan lewat cara mereka masing-masing terhadap kekuasaan. Ada yang terbuka di depan publik, tapi ada juga yang diam-diam dalam kesendirian. Ada yang berhasil, tapi banyak juga yang gagal sampai maut menjemputnya. Yang mencapai keberhasilan pun sebenarnya tidak berhasil sesungguh-sungguhnya karena tidak ada satu pun yang mampu mencapai cita-cita yang “digantungkan di langit”, sebagaimana dikatakan Bung Karno.
Akhirnya, mencapai puncak keberhasilan bukan lagi tujuan bagi semua tokoh yang dibahas karena seperti Sisyphus yang mengangkat batu, mereka berusaha melawan nasib, dan dalam proses perlawanan itu senantiasa jatuh lagi, bangun lagi, dan jatuh lagi. Karena itu, “menerjang badai” akhirnya menjadi jauh-jauh lebih penting karena itulah yang merumuskan siapa mereka dan harkat hidupnya.
Buku ini memeriksa kekuasaan, relasi kekuasaan, dan akibat dari bagaimana kekuasaan itu bekerja di dalam diri sejumlah tokoh yang hampir tidak berhubungan satu sama lain. Pertama, “Kekuasaan Kaum Tak Berkuasa,” (powerfulness of the powerless) di mana bisa dibaca Soe Hok Gie, Poncke Princen, Toety Azis, Pramoedya Ananta Toer, dan Rusli. Sebagian besar tidak memegang kekuasaan dalam arti kenegaraan. Namun, kekuasaan dalam pribadinya, dan institusinya menjadi tantangan besar bagi setiap penguasa.
Kedua, “Kekuasaan Kaum Terbuang” (power of the outcasts)— Rohimah, Taufik, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael. Mereka dikategorikan sebagai penjahat, yang harus dibuang dari masyarakat. Namun, mereka berkuasa di dalam dunia “gelap” bagi kepentingan dunia “terang”.
Bagian ketiga, “Kaum Berkuasa dan Ke-tak-kuasa-an” (powerlessness of the powerful) —Mohammad Hatta, Margono Djojohadikoesoemo, Sam Ratulangi, Frans Seda, Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, dan Soekarno. Separuhnya lebih menunjukkan tragedi kekuasaan itu sendiri. Tragedinya terletak dalam ketakberdayaan mereka yang sangat mampu memecahkan soal demi harkat kemanusiaan sambil menunjukkan wajah muram dari kekuasaan itu sendiri. Paradoks demi paradoks dibuka tentang mereka yang tak berkuasa akan tetapi penuh daya, yang berkuasa namun tanpa daya, yang terbuang akan tetapi membuka kedok suatu masyarakat yang mengenyahkannya. Mereka tidak atau hampir tidak pernah berhubungan satu sama lain; namun, bila diperhatikan dengan teliti Soekarno —muda dan tua, Soekarno aktivis dan penguasa—menjadi axis yang menghubungkan semua.
Dua orang sangat berpengaruh terhadap cara melihat yang dianut penulis buku. Pertama, Michel Foucault yang berpandangan bahwa kekuasaan bersifat menentukan di berbagai lini. “Perlu adanya seberkas cahaya yang, sekurang-kurangnya pada saat yang singkat, menyinari mereka. Cahaya yang berasal dari salah satu tempat lain yang menyelamatkan mereka dari kegelapan malam, tempat mereka akan dan malah harus dan mampu berdiam, adalah an encounter with power, suatu pertemuan dengan kekuasaan, yang tanpa persinggungan ini tidak akan ada satu kata pun untuk mengenang kehadirannya ... .”
Kedua, C. Wright Mills yang menekankan bahwa biografi, sejarah, dan struktur sosial mengubah, mempertahankan, mempermainkan seseorang di dalam masyarakat. Sebegitu pentingnya tiga hal tersebut sehingga “masalah masa kini tidak bisa diungkapkan secara pas tanpa mempraktikkan secara konsisten pandangan bahwa sejarah adalah tumpuan studi sosial, dan pengakuan adanya kebutuhan untuk mengembangkan psikologi manusia yang berdiri kukuh secara sosiologis, dan secara historis relevan.
Tanpa menggunakan sejarah dan tanpa adanya dimensi historis dari sesuatu yang psikologis, seorang ilmuwan sosial tidak bisa mengungkapkan secara pas yang kini seharusnya menjadi titik tolak dari studi-studinya.” Setiap tokoh di sini dibahas dari sudut pandangan itu.
Semua tokoh yang dibahas dalam buku ini berada dalam satu Keranjang yaitu perlawanan lewat cara mereka masing-masing terhadap kekuasaan. Ada yang terbuka di depan publik, tapi ada juga yang diam-diam dalam kesendirian. Ada yang berhasil, tapi banyak juga yang gagal sampai maut menjemputnya. Yang mencapai keberhasilan pun sebenarnya tidak berhasil sesungguh-sungguhnya karena tidak ada satu pun yang mampu mencapai cita-cita yang “digantungkan di langit”, sebagaimana dikatakan Bung Karno.
Akhirnya, mencapai puncak keberhasilan bukan lagi tujuan bagi semua tokoh yang dibahas karena seperti Sisyphus yang mengangkat batu, mereka berusaha melawan nasib, dan dalam proses perlawanan itu senantiasa jatuh lagi, bangun lagi, dan jatuh lagi. Karena itu, “menerjang badai” akhirnya menjadi jauh-jauh lebih penting karena itulah yang merumuskan siapa mereka dan harkat hidupnya.
Buku ini memeriksa kekuasaan, relasi kekuasaan, dan akibat dari bagaimana kekuasaan itu bekerja di dalam diri sejumlah tokoh yang hampir tidak berhubungan satu sama lain. Pertama, “Kekuasaan Kaum Tak Berkuasa,” (powerfulness of the powerless) di mana bisa dibaca Soe Hok Gie, Poncke Princen, Toety Azis, Pramoedya Ananta Toer, dan Rusli. Sebagian besar tidak memegang kekuasaan dalam arti kenegaraan. Namun, kekuasaan dalam pribadinya, dan institusinya menjadi tantangan besar bagi setiap penguasa.
Kedua, “Kekuasaan Kaum Terbuang” (power of the outcasts)— Rohimah, Taufik, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael. Mereka dikategorikan sebagai penjahat, yang harus dibuang dari masyarakat. Namun, mereka berkuasa di dalam dunia “gelap” bagi kepentingan dunia “terang”.
Bagian ketiga, “Kaum Berkuasa dan Ke-tak-kuasa-an” (powerlessness of the powerful) —Mohammad Hatta, Margono Djojohadikoesoemo, Sam Ratulangi, Frans Seda, Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, dan Soekarno. Separuhnya lebih menunjukkan tragedi kekuasaan itu sendiri. Tragedinya terletak dalam ketakberdayaan mereka yang sangat mampu memecahkan soal demi harkat kemanusiaan sambil menunjukkan wajah muram dari kekuasaan itu sendiri. Paradoks demi paradoks dibuka tentang mereka yang tak berkuasa akan tetapi penuh daya, yang berkuasa namun tanpa daya, yang terbuang akan tetapi membuka kedok suatu masyarakat yang mengenyahkannya. Mereka tidak atau hampir tidak pernah berhubungan satu sama lain; namun, bila diperhatikan dengan teliti Soekarno —muda dan tua, Soekarno aktivis dan penguasa—menjadi axis yang menghubungkan semua.
Dua orang sangat berpengaruh terhadap cara melihat yang dianut penulis buku. Pertama, Michel Foucault yang berpandangan bahwa kekuasaan bersifat menentukan di berbagai lini. “Perlu adanya seberkas cahaya yang, sekurang-kurangnya pada saat yang singkat, menyinari mereka. Cahaya yang berasal dari salah satu tempat lain yang menyelamatkan mereka dari kegelapan malam, tempat mereka akan dan malah harus dan mampu berdiam, adalah an encounter with power, suatu pertemuan dengan kekuasaan, yang tanpa persinggungan ini tidak akan ada satu kata pun untuk mengenang kehadirannya ... .”
Kedua, C. Wright Mills yang menekankan bahwa biografi, sejarah, dan struktur sosial mengubah, mempertahankan, mempermainkan seseorang di dalam masyarakat. Sebegitu pentingnya tiga hal tersebut sehingga “masalah masa kini tidak bisa diungkapkan secara pas tanpa mempraktikkan secara konsisten pandangan bahwa sejarah adalah tumpuan studi sosial, dan pengakuan adanya kebutuhan untuk mengembangkan psikologi manusia yang berdiri kukuh secara sosiologis, dan secara historis relevan.
Tanpa menggunakan sejarah dan tanpa adanya dimensi historis dari sesuatu yang psikologis, seorang ilmuwan sosial tidak bisa mengungkapkan secara pas yang kini seharusnya menjadi titik tolak dari studi-studinya.” Setiap tokoh di sini dibahas dari sudut pandangan itu.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 320.4 DHA m |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas : Jakarta., 2015 |
Deskripsi Fisik | xiv + 450 hlm.; 23 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-709-982-4 |
Klasifikasi | 320.4 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Politik - Kekuasaan |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Daniel Dhakidae |
Tidak tersedia versi lain