Detail Cantuman
Text
Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Habermas
1011149101 | 320.01 WAT m | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Sepeninggal Orde Baru, 21 Mei 1998, Indonesia segera memasuki fase yang disebut dengan "liberalisasi politik awal". Inilah fase yang ditandai oleh serba ketidakpastian dan karenanya dinamai secara teoritis oleh O’Donnell dan Schimitter –dalam bukunya Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian-- kurang lebih sebagai fase "transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana".
Ternyata, penerapan system Demokrasi liberal (liberalisasi politik) pasca lengsernya Orba, belum juga mampu menuntaskan berbagai problem kebangsaan yang kini melanda bangsa kita. Di samping itu, aspirasi rakyat pun tidak tersalurkan secara utuh. Sebab, prinsip dasar demokrasi liberal –sebagaimana yang diandaikan konsep Negara hokum klasik—adalah individu, masyarakat, ekonomi, dan kebudayaan harus berada di bawah (tunduk pada) kekuasaan negara. Jadi, kebebasan mereka masih terkungkung oleh dominasi Negara.
Karena itu, tak heran apabila persoalan-persoalan kebangsaan datang silih berganti. Mulai dari krisis moneter 1997, gesekan antar golongan/agama/suku, kenaikan BBM, bencana alam, pemanasan global, dan lain-lain. Semua persoalan itu mengindikasikan bahwa demokrasi liberal telah gagal (mengalami kebuntuan) untuk memecahkan persoalan bangsa dalam masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia ini.
Jika demokrasi liberatif sudah tidak mampu lagi memecah persoalan kebangsaan, maka Pertanyaannya adalah; demokrasi seperti apa mampu melakukannya?
Jawabannya hanya satu, yakni demokrasi deliberatif sebagaimana yang tersaji dalam buku ini. Buku berjudul Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas yang ditulis oleh Reza A. A. Wattimena, ini menyajikan konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas secara komprehensif dan detil. Buku ini menawarkan demokrasi deliberatif yang di gagas Habermas sebagai solusi untuk memecah kebuntuan demokrasi liberal di negeri ini. Yang menjadi titik tolak penulis terhadap pandangan filsafat politik Habermas adalah Buku Jurgen Habermas yang berjudul Between Fact and Norms: Contribution to A Discourse Theory of Law and Democeacy yang menjadi sumber utama buku terbitan Kanisius ini.
Demokrasi deliberatif merupakan sebuah bentuk demokrasi yang menempatkan Negara dan masyarakat sebagai subjek, bukan objek sebagaimana konsep demokrasi liberal. Jadi, antara Negara dan warganya tidak ada yang memiliki otoritas paling besar. Keduanya memiliki atau memegang porsi kekuasaan yang sama. Kebijakan politis yang diambil pun harus melalui tindakan komunikatif antar keduanya. Itulah yang diandaikan Habermas dalam teori diskursusnya.
Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa buku ini merupakan upaya penulis untuk memberikan sumbang saran teoritis bagi kebuntuan proses demokratisasi di Negara kita. Pada realitasnya, belakangan ini Indonesia mengalami begitu banyak persoalan yang sangat kompleks. Berbagai pesoalan tersebut, secara tidak langsung mengancam keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia kini tengah berada di tengah-tengah badai krisis multidimensi yang berakibat pada terciptanya disintegrasi bangsa. (hlm v)
Menurut Reza, sudah saatnya bangsa Indonesia menggeser filosofi hukum Negara, dari demokrasi liberalis ke demokrasi deliberatif. Penulis berkeyakinan bahwa Konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas mampu menciptakan integrasi social dalam ruang kemajemukan. Habermas, yang kita kenal sebagai penerus teori kritis mazhab Frankfurt dan juga penerus tradisi kritis marxisme, berusaha menerapkan tindakan komunikatif dalam proses demokrasi di Negara modern. Dengan metode diskursus yang ditawarkannya, Habermas berhasil melahirkan konsep filosofi hukum Negara yang lebih adil, jujur, dan seimbang; yakni demokrasi deliberatif.
Habermas dalam bukunya the Theory of Communicative Action mengandaikan bahwa kebijakan-kebijakan politis harus dilandasi dengan tindakan komunikatif. Demokrasi deliberatif adalah proses demokratisasi politis yang melibatkan semua pihak dalam mengambil kebijakan. Deliberasi yang diandaikan Habermas di sini adalah rasionalitas publik.
Dengan model demokrasi deliberatif bagi Negara hukum demokratis modern ini, Habermas telah menyumbangkan suatu model pemerintahan demokratis, yang legitimasinya diraih dari pengunaan rasio secara public oleh seluruh warga Negara. (hlm 170).
Bagi Habermas, Negara tidak hanya bertugas sebagai pengontrol hak-hak warga negaranya sebagaimana yang diandaikan Locke dalam "Negara kecilnya" atau Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sebagaimana Hobbes mengandaikannya dalam konsep "Negara besar". Tetapi, Negara dan rakyat adalah dua elemen yang memiliki hubungan erat. Di mana kebijakan dihasilkan dari proses komunikatif antar keduanya (demokrasi deliberatif).
Dalam filsafat politik dan hukumnya, Habermas lebih menekankan pada tindakan komunikatif (teori diskursus). Artinya, pemerintah dan masyarakat harus duduk bareng (musyawarah) untuk menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan begitu, kemajemukan dalam suatu bangsa tidak lagi menjadi hambatan bagi terciptanya integrasi social.
Di samping itu, Habermas juga berupaya mereformasi tatanan negara hukum demokratis, yang diandaikan sudah ada, melalui partisipasi dengan prinsip kesamaan dan otonomi social masyarakat sipil dalam proses penentuan kebijakan public berlandaskan teori dikursus. (hlm 6).
Buku ini sangat penting untuk di baca semua kalangan, baik akademisi, ahli politik dan kenegaraan, maupun masyarakat sipil. Sebab, pengandaian dasar Habermas, titik pijaknya, cakrawala, serta jalan keluar yang diusulkannya sehubungan probelmatika kebangsaan dipaparkan secara gamblang dan komprehensif oleh Reza dalam buku ini sebagai suatu sharing pengetahuan.
Ternyata, penerapan system Demokrasi liberal (liberalisasi politik) pasca lengsernya Orba, belum juga mampu menuntaskan berbagai problem kebangsaan yang kini melanda bangsa kita. Di samping itu, aspirasi rakyat pun tidak tersalurkan secara utuh. Sebab, prinsip dasar demokrasi liberal –sebagaimana yang diandaikan konsep Negara hokum klasik—adalah individu, masyarakat, ekonomi, dan kebudayaan harus berada di bawah (tunduk pada) kekuasaan negara. Jadi, kebebasan mereka masih terkungkung oleh dominasi Negara.
Karena itu, tak heran apabila persoalan-persoalan kebangsaan datang silih berganti. Mulai dari krisis moneter 1997, gesekan antar golongan/agama/suku, kenaikan BBM, bencana alam, pemanasan global, dan lain-lain. Semua persoalan itu mengindikasikan bahwa demokrasi liberal telah gagal (mengalami kebuntuan) untuk memecahkan persoalan bangsa dalam masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia ini.
Jika demokrasi liberatif sudah tidak mampu lagi memecah persoalan kebangsaan, maka Pertanyaannya adalah; demokrasi seperti apa mampu melakukannya?
Jawabannya hanya satu, yakni demokrasi deliberatif sebagaimana yang tersaji dalam buku ini. Buku berjudul Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas yang ditulis oleh Reza A. A. Wattimena, ini menyajikan konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas secara komprehensif dan detil. Buku ini menawarkan demokrasi deliberatif yang di gagas Habermas sebagai solusi untuk memecah kebuntuan demokrasi liberal di negeri ini. Yang menjadi titik tolak penulis terhadap pandangan filsafat politik Habermas adalah Buku Jurgen Habermas yang berjudul Between Fact and Norms: Contribution to A Discourse Theory of Law and Democeacy yang menjadi sumber utama buku terbitan Kanisius ini.
Demokrasi deliberatif merupakan sebuah bentuk demokrasi yang menempatkan Negara dan masyarakat sebagai subjek, bukan objek sebagaimana konsep demokrasi liberal. Jadi, antara Negara dan warganya tidak ada yang memiliki otoritas paling besar. Keduanya memiliki atau memegang porsi kekuasaan yang sama. Kebijakan politis yang diambil pun harus melalui tindakan komunikatif antar keduanya. Itulah yang diandaikan Habermas dalam teori diskursusnya.
Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa buku ini merupakan upaya penulis untuk memberikan sumbang saran teoritis bagi kebuntuan proses demokratisasi di Negara kita. Pada realitasnya, belakangan ini Indonesia mengalami begitu banyak persoalan yang sangat kompleks. Berbagai pesoalan tersebut, secara tidak langsung mengancam keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia kini tengah berada di tengah-tengah badai krisis multidimensi yang berakibat pada terciptanya disintegrasi bangsa. (hlm v)
Menurut Reza, sudah saatnya bangsa Indonesia menggeser filosofi hukum Negara, dari demokrasi liberalis ke demokrasi deliberatif. Penulis berkeyakinan bahwa Konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas mampu menciptakan integrasi social dalam ruang kemajemukan. Habermas, yang kita kenal sebagai penerus teori kritis mazhab Frankfurt dan juga penerus tradisi kritis marxisme, berusaha menerapkan tindakan komunikatif dalam proses demokrasi di Negara modern. Dengan metode diskursus yang ditawarkannya, Habermas berhasil melahirkan konsep filosofi hukum Negara yang lebih adil, jujur, dan seimbang; yakni demokrasi deliberatif.
Habermas dalam bukunya the Theory of Communicative Action mengandaikan bahwa kebijakan-kebijakan politis harus dilandasi dengan tindakan komunikatif. Demokrasi deliberatif adalah proses demokratisasi politis yang melibatkan semua pihak dalam mengambil kebijakan. Deliberasi yang diandaikan Habermas di sini adalah rasionalitas publik.
Dengan model demokrasi deliberatif bagi Negara hukum demokratis modern ini, Habermas telah menyumbangkan suatu model pemerintahan demokratis, yang legitimasinya diraih dari pengunaan rasio secara public oleh seluruh warga Negara. (hlm 170).
Bagi Habermas, Negara tidak hanya bertugas sebagai pengontrol hak-hak warga negaranya sebagaimana yang diandaikan Locke dalam "Negara kecilnya" atau Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sebagaimana Hobbes mengandaikannya dalam konsep "Negara besar". Tetapi, Negara dan rakyat adalah dua elemen yang memiliki hubungan erat. Di mana kebijakan dihasilkan dari proses komunikatif antar keduanya (demokrasi deliberatif).
Dalam filsafat politik dan hukumnya, Habermas lebih menekankan pada tindakan komunikatif (teori diskursus). Artinya, pemerintah dan masyarakat harus duduk bareng (musyawarah) untuk menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan begitu, kemajemukan dalam suatu bangsa tidak lagi menjadi hambatan bagi terciptanya integrasi social.
Di samping itu, Habermas juga berupaya mereformasi tatanan negara hukum demokratis, yang diandaikan sudah ada, melalui partisipasi dengan prinsip kesamaan dan otonomi social masyarakat sipil dalam proses penentuan kebijakan public berlandaskan teori dikursus. (hlm 6).
Buku ini sangat penting untuk di baca semua kalangan, baik akademisi, ahli politik dan kenegaraan, maupun masyarakat sipil. Sebab, pengandaian dasar Habermas, titik pijaknya, cakrawala, serta jalan keluar yang diusulkannya sehubungan probelmatika kebangsaan dipaparkan secara gamblang dan komprehensif oleh Reza dalam buku ini sebagai suatu sharing pengetahuan.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 320.01 WAT m |
Penerbit | Kanisius : Yogyakarta., 2007 |
Deskripsi Fisik | xxii + 218 hlm.; 22,5 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-21-1586-4 |
Klasifikasi | 320.01 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Filsafat Politik |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Reza A. A. Wattimena |
Tidak tersedia versi lain