Detail Cantuman
Text
Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya
1012080101 | 306 BOE k | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1012081102 | 306 BOE k | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1012082103 | 306 BOE k | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-11-14) |
1012083104 | 306 BOE k | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1032636205 | 306 BOE k C-5 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Kepribadian dipengaruhi oleh latar belakang budaya dimana kepribadian itu berakar. Buku yang bertolak dari nilai–nilai kemanusia yang dihargai oleh bangsa Indonesia, bertemu dengan nilai–nilai kemanusia oleh agama. Penelitian antropologi budaya dalam penelitian agama–agama adalah citra kemanusiaan yang melekat pada agama–agama dalam usaha manusia mencari hubungan dengan ilahi yang di dalamnya ada persamaan dan perbedaan perspektif yang ditawarkan oleh agama.
Dalam buku ini, kepribadian manusia Indonesia tradisional dibagi berdasarkan pola hidup masyarakat dalam mencari nafkah yaitu kaum peramu, kaum petani petani ladang, kaum petani sawah dan kaum pesisir. Masing–masing dari kelompok tradisional dipelajari 3 hal mendasar yakni: pandangan hidup terhadap alam semesta, pandangan hidup terhadap alam sesama, pandangan hidup terhadap alam baka yang kemudian masuk dalam pemikiran pengintegrasian unsur–unsur mentalitas setiap kelompok masyarakat tradisional dalam kepribadian Indonesia.
Penulis memutuskan mengambil model kelompok peramu adalah sejumlah suku di Papua dengan profil pekerjaan menanam wati (obat) dilakukan suku Marind Anim, menanam tembakau suku Jahray sedangkan suku Marind, suku Jahray dan suku Asmat sama sama memelihara babi. Ternak hanya diikat dekat rumah dengan makan seadanya. Sebagai peramu maka suku–suku tersebut hidup dalam hutan-hutan dan rawa-rawa. Suku peramu adalah pengembara yang dapat berpindah-pindah. Pemilihan suku Papua untuk mengamati kaum peramu di Nusantara suatu tindakan pengambilan sampel dapat mengambarkan maksud penulis mencari tahu akar budaya tradisional secara nyata. Pemilihan sampel yang benar pada masa sekarang sangat menunjang mengetahui gambaran yang sebenarnya dari kaum peramu yang hidup di Nusantara masa lalu. Pengambilan sampel suku Papua adalah pilihan yang baik untuk menyaksikan dan memberi gambaran suku peramu.
Contoh penelitian kaum peramu mengambarkan penelitian ditujukan untuk mencari kepribadian Nusantara yang dianggap regilius dengan akar budayanya sendiri. Di luar kaum peramu, peneliti memaparkan hasil penelitiannya dalam buku kepribadian Indonesia yang sangat menarik disimak untuk mendapat gambaran akar budaya yang membentuk kepribadian guna melengkapi diri saat masuk pelayanan di lapangan. Suku peramu Merasa dirinya berada “dengan yang ada” atau “diantara yang ada”. Yaitu memandang dirinya bersama wujud-wujud lain yaitu: matahari, bulan, bintang, gunung, sungai, hutan, rawa, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia lainnya. Seorang peramu disebut seorang improvisator, artinya ia bisa mencoba sendiri dengan apa saja entah itu bermanfaat, entah itu mesti diabaikan.
Kaum peramu memiliki keberanian dan harga diri tinggi sekalipun dalam lubuk sanubari ada rasa takut bahwa sesuatu yang diberi kepadanya dapat diambil darinya. Mereka sadar bahwa meraka memerlukan orang lain Tetapi itu demi kepentingan sendiri. Menyadari kerja sama. Ia rela memberi sumbangan asal ada imbalan yang pasti. Rasa hormat yang bersifat darurat, hormat tersebut ditujukan antara lain: panglima perang, penasihat, penghubung dunia tak kelihatan. Adanya peraturan yang mengatur pernikahan merupakan wujud untuk menentukan pergaulan dari orang berkuasa. Dalam kaum peramu ditemukan juga rasa sayang, belas kasih, hormat, segan sekalipun ada sikap resiprositas, yaitu sikap balas membalas secara singkat tidak lain dari pada sikap mengharapkan imbalan langsung yang merupakan ciri khas pola pergaulan mereka.
Manusia peramu memandang segala sesuatu berjiwa tetapi bukan “diisi dengan roh”, mereka memakai gambaran “jiwa dalam badan” ialah intelegensi dan kemauan dari hal jasmani sendiri. Dalam lingkungan alam yang bersifat dipandang menududuki tempat yang tertinggi baik manusia yang hidup maupun manusia yang mati. Diantara orang yang meninggal dibedalam kelompok arwah orang yang sidah lama meninggal dengan orang yang baru saja mati. Yang sudah lama meninggal dianggap sebagai kelompok nenek moyang (leluhur) yang menjaga tata tertib adat diantara orang yang hidup sebagai wakil langit dan bumi. Mayoritas orang peramu terdiri atas kerelaan mereka mempertahankan hubungan yang baik dengan kekuatan-kekuatan dunia yang nampak dan yang misterius. Pertahanan itu boleh menuntut juga balas dendam dengan membunuh dan membela diri dengan black magic. Konsep Allah adalah adanya satu jiwa yang besar yang menjiwai segala sesuatu.
Suasana religius dan sikap hormat terhadap alam yang maha kuasa selalu diperbaharui. Pembaharuan itu dicapai melalui upacara–upacara kecil maupun besar. Kaum peramu mrnutupi kehudupan biologis dengan suatu lapisan kehidupaan manusiawi yang mempuyai momentum yang berlangsung menurut kaidah yang biasa (profan). Jadi manusia tidak hanya hidup diantara dan bersama-ama benda, akan tetapi menyadari akan kelangsungan serta kesejahteraan keseluruhan kebendaan.
Dalam buku ini, kepribadian manusia Indonesia tradisional dibagi berdasarkan pola hidup masyarakat dalam mencari nafkah yaitu kaum peramu, kaum petani petani ladang, kaum petani sawah dan kaum pesisir. Masing–masing dari kelompok tradisional dipelajari 3 hal mendasar yakni: pandangan hidup terhadap alam semesta, pandangan hidup terhadap alam sesama, pandangan hidup terhadap alam baka yang kemudian masuk dalam pemikiran pengintegrasian unsur–unsur mentalitas setiap kelompok masyarakat tradisional dalam kepribadian Indonesia.
Penulis memutuskan mengambil model kelompok peramu adalah sejumlah suku di Papua dengan profil pekerjaan menanam wati (obat) dilakukan suku Marind Anim, menanam tembakau suku Jahray sedangkan suku Marind, suku Jahray dan suku Asmat sama sama memelihara babi. Ternak hanya diikat dekat rumah dengan makan seadanya. Sebagai peramu maka suku–suku tersebut hidup dalam hutan-hutan dan rawa-rawa. Suku peramu adalah pengembara yang dapat berpindah-pindah. Pemilihan suku Papua untuk mengamati kaum peramu di Nusantara suatu tindakan pengambilan sampel dapat mengambarkan maksud penulis mencari tahu akar budaya tradisional secara nyata. Pemilihan sampel yang benar pada masa sekarang sangat menunjang mengetahui gambaran yang sebenarnya dari kaum peramu yang hidup di Nusantara masa lalu. Pengambilan sampel suku Papua adalah pilihan yang baik untuk menyaksikan dan memberi gambaran suku peramu.
Contoh penelitian kaum peramu mengambarkan penelitian ditujukan untuk mencari kepribadian Nusantara yang dianggap regilius dengan akar budayanya sendiri. Di luar kaum peramu, peneliti memaparkan hasil penelitiannya dalam buku kepribadian Indonesia yang sangat menarik disimak untuk mendapat gambaran akar budaya yang membentuk kepribadian guna melengkapi diri saat masuk pelayanan di lapangan. Suku peramu Merasa dirinya berada “dengan yang ada” atau “diantara yang ada”. Yaitu memandang dirinya bersama wujud-wujud lain yaitu: matahari, bulan, bintang, gunung, sungai, hutan, rawa, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia lainnya. Seorang peramu disebut seorang improvisator, artinya ia bisa mencoba sendiri dengan apa saja entah itu bermanfaat, entah itu mesti diabaikan.
Kaum peramu memiliki keberanian dan harga diri tinggi sekalipun dalam lubuk sanubari ada rasa takut bahwa sesuatu yang diberi kepadanya dapat diambil darinya. Mereka sadar bahwa meraka memerlukan orang lain Tetapi itu demi kepentingan sendiri. Menyadari kerja sama. Ia rela memberi sumbangan asal ada imbalan yang pasti. Rasa hormat yang bersifat darurat, hormat tersebut ditujukan antara lain: panglima perang, penasihat, penghubung dunia tak kelihatan. Adanya peraturan yang mengatur pernikahan merupakan wujud untuk menentukan pergaulan dari orang berkuasa. Dalam kaum peramu ditemukan juga rasa sayang, belas kasih, hormat, segan sekalipun ada sikap resiprositas, yaitu sikap balas membalas secara singkat tidak lain dari pada sikap mengharapkan imbalan langsung yang merupakan ciri khas pola pergaulan mereka.
Manusia peramu memandang segala sesuatu berjiwa tetapi bukan “diisi dengan roh”, mereka memakai gambaran “jiwa dalam badan” ialah intelegensi dan kemauan dari hal jasmani sendiri. Dalam lingkungan alam yang bersifat dipandang menududuki tempat yang tertinggi baik manusia yang hidup maupun manusia yang mati. Diantara orang yang meninggal dibedalam kelompok arwah orang yang sidah lama meninggal dengan orang yang baru saja mati. Yang sudah lama meninggal dianggap sebagai kelompok nenek moyang (leluhur) yang menjaga tata tertib adat diantara orang yang hidup sebagai wakil langit dan bumi. Mayoritas orang peramu terdiri atas kerelaan mereka mempertahankan hubungan yang baik dengan kekuatan-kekuatan dunia yang nampak dan yang misterius. Pertahanan itu boleh menuntut juga balas dendam dengan membunuh dan membela diri dengan black magic. Konsep Allah adalah adanya satu jiwa yang besar yang menjiwai segala sesuatu.
Suasana religius dan sikap hormat terhadap alam yang maha kuasa selalu diperbaharui. Pembaharuan itu dicapai melalui upacara–upacara kecil maupun besar. Kaum peramu mrnutupi kehudupan biologis dengan suatu lapisan kehidupaan manusiawi yang mempuyai momentum yang berlangsung menurut kaidah yang biasa (profan). Jadi manusia tidak hanya hidup diantara dan bersama-ama benda, akan tetapi menyadari akan kelangsungan serta kesejahteraan keseluruhan kebendaan.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 306 BOE k |
Penerbit | Gramedia : Jakarta., 1984 |
Deskripsi Fisik | xxiii + 133 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | - |
Klasifikasi | 306 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Kebudayaan |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Y. Boelaars |
Tidak tersedia versi lain