Detail Cantuman

Image of Monologion: Ketika Kata Bertingkah

Text

Monologion: Ketika Kata Bertingkah


1014201101810 SEB m C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan
1014202102810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014203103810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014204104810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014205105810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014206106810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014207107810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014208208810 SEB mPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1019603109810 SEB mKAMPUS MAUMERETersedia
Monologion ini dibuka dengan sebuah proposisi tentang kata. Kata mendasari universum dan kepadanyalah segala sesuatu tergantung. Kata itu tampak mulai dari yang paling renik sampai yang paling rumit dan, seperti diamini penulis buku ini, hingga tak lagi bisa ditemukan oleh bahasa.

Jika memang demikian, bagaimanakah sesuatu yang tidak bisa ditemukan oleh bahasa terpahami, sementara bahasa dimafumi sebagai sarana pengantar manusia kepada pengertian, termasuk kepada pemahaman akan kata sebagai fundamen segala keberadaan? Dan apakah yang tidak bisa ditemukan oleh bahasa itu pada akhirnya, sekali lagi, ekuivalen dengan kata?

Pertanyaan eksistensial ini mewadahi permenungan setiap pencari kebenaran, termasuk mereka yang menggunakan tulisan sebagai instrumen. Melalui tulisan sesuatu yang disebut rahasia terungkap. Hal ini tentu bukan tujuan satu-satunya, sebab menurut Roland Barthes menulis itu tidak hanya menyingkapkan rahasia, tetapi pada akhirnya harus bersifat revolusioner, yakni menolak makna.[1] Namun, apa itu “menolak makna”? Barthes tentu tidak salah, walaupun juga tidak selamanya benar.

Penulis, seturut Barthes, belum berhasil jika sekadar puas dengan ramuan kata yang sedap bagi mata dan telinga. Pesannya ialah penolakan terhadap kedangkalan makna dan pesan di dalam teks. Hanya saja cukup banyak penulis yang gagal, sebab salah memilih cara menyampaikan pesan. Tidak sedikit penulis yang merasa puas dengan mendikte pembaca, dan berpikir bahwa sebuah tulisan telah cukup mengubah dunia.

Dalam rangka menyingkapkan rahasia dan melawan kedangkalan pesan, cukup banyak penulis menggunakan dialog sebagai metode. Namun, pada sebagian, rahasia justru terungkap melalui teknik monolog(ion). Di dalam teknik ini sindiran dipilih bukan karena dianggap etis, melainkan karena lebih baik daripada mendikte.

Di dalam buku ini monologion diberi arti “kembara tanpa batas ke dalam diri sendiri”. Namun, arti tersebut kehilangan daya magisnya jika tidak dikaitkan dengan kembara iman dan intelektual manusia yang paling primordial. Dalam rangka ini, kita mesti kembali pada era medieval, zaman di mana eksistensi Allah dicari melalui pergulatan intelektual, dan saat di mana siapa pun pasti terpaut dengan Anselmus dari Canterbury. Selain kita terpesona oleh pembuktian Anselmus akan keberadaan Allah yang didaulatnya melalui rasio murni dan silogisme, kita berjumpa dengan sumber dari mana terma “monologion” yang dipakai penulis buku ini berasal.
Judul Seri -
No. Panggil 810 SEB m
Penerbit Penerbit Ledalero : Maumere.,
Deskripsi Fisik xx + 172 hlm.; 21 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 978-602-1161-24-1
Klasifikasi 810
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-1
Subyek -
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain