Detail Cantuman

Image of Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria

Text

Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria


1014471101261.7 KRI sPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014472102261.7 KRI sPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014473103261.7 KRI sPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014474104261.7 KRI sPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1014818105261.7 KRI sPERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
Istilah “sakramen politik” barangkali sudah membuat Anda mengernyitkan dahi, bahkan lebih jauh Anda mengira sebagai ajaran baru yang ‘menyesatkan’ jemaat beriman. Saya berpegang pada ketetapan Konsili Trento (1545-1563) yang mengajarkan bahwa jumlah sakramen hanya tujuh (DS 844: Canones de sacramentis in genere). Sebelum penetapan oleh Konsili tersebut, jumlah sakramen dalam Gereja Katolik Roma mengalami “naik turun”, pernah jumlah sakramen mencapai dua puluhan, tetapi juga pernah “belasan”. Akan tetapi, sejak Konsili Trento Gereja Katolik Roma tidak lagi memperdebatkan jumlah sakramen. Tujuh saja. Tidak lebih. Tidak kurang. Memang rasanya, jumlah itu sedikit banyak dipaksakan, berbau angka magis.

Meskipun begitu, dewasa ini ada kecenderungan untuk memikirkan ulang sakramen Baptis (permandian), Krisma (penguatan atau sidi), dan Ekaristi (Perjamuan Tuhan) sebagai satu kesatuan Sakramen Inisiasi. Sementara itu, tetap dikemukakan pula pandangan mengenai hidup sakramental yang mengakui Kristus sebagai sakramen utama atau tanda rahmat Allah yang berdaya guna, dan Gereja yang dirintis-Nya sebagai sakramen dasar, yang diwujudkan dalam ketujuh sakramen. Pandangan seperti ini dikembangkan oleh Otto Semmelroth, Karl Rahner dan Edward Schillebeeckx.

Sesungguhnya, kita menghadapi kesulitan tersendiri manakala hal-ikhwal sakramen itu dicarikan dasar legitimasi dan teologinya pada Kitab Suci. Mengapa? Karena Kitab Suci hanya menyinggung dua, bahkan tiga hal yang dapat dihubungkan secara langsung dengan sakramen, yakni permandian, ekaristi dan pengakuan. Malahan ada satu tindakan Yesus yang sangat signifikan dan sangat sesuai dengan tugas perutusan Kristus Yesus dan roh Kekristenan, yakni pelayanan. Hal mana terlihat sangat jelas ketika Yesus sebagai guru dan pemimpin komunitas (para rasul) mencuci kaki para ‘murid’ (Yoh 13:1-17). Namun pelayanan ini tidak pernah dijadikan “sakramen” dalam Gereja Katolik. Mengingat itu semua, pendasaran sakramen tidak pernah mencukupi jika dicari hanya dalam Kitab Suci. Kita perlu mencari dan menemukan pendasarannya pada praksis Gereja pada abad-abad pertama sampai lembaga keagamaan ini merumuskan jati diri dan identitasnya pada zaman para Bapak Gereja (patres).

Memang dengan sengaja, saya memilih istilah “Sakramen Politik”. Pilihan ini tidak dimaksudkan untuk menyepelekan ketetapan Konsili Trento, melainkan untuk menggarisbawahi pengalaman, praksis yang diinspirasikan oleh ungkapan mysterion. Pada prinsipnya, politik merupakan seni memanage (the art of managing), seni mengurus atau merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggungjawab untuk melayani rakyat. Di sini politik menyiratkan kebijakan terorganisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni bonum commune (kebaikan bersama) yang adil dan merata. Ini semua menunjukkan politik mestinya dijunjung tinggi sedemikian rupa sehingga menampakkan apa yang mau dicapai dengannya, juga jelas bagi siapa diperuntukkannya, sekaligus tampak tolok ukur untuk menilai capaian politik. Begitu pentingnya fungsi dan peran politik dalam hidup berkomunitas, sampai-sampai siapa pun yang menghendaki keselamatan maka berpolitik merupakan keniscayaan. Meminjam istilah dalam perspektif teologi: politik adalah tanda dan sarana penyelamatan!

Pada prinsipnya, hierarki Gereja (yakni uskup, imam dan diakon) tidak diperkenankan untuk melakukan politik praktis. Kita ingat akan ‘skandal’ Ernesto Cardenal, seorang imam Benediktin yang didesak untuk meninggalkan jabatan imamatnya mengingat ia telah aktif terlibat dalam gerakan politik praktis di Nicaragua yang dikawal oleh Sandinista. Kaum awam beriman Kristen dan yang tidak terbilang dalam hierarki Gereja mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk berpolitik praktis, tanpa mengatasnamakan gereja. Keterlibatan awam dalam dunia politik merupakan pemenuhan panggilan untuk peduli pada persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa. Bagi orang Kristen, terlibat dalam dunia politik itu merupakan rahmat istimewa, mengingat misteri ‘inkarnasi’ sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Bukankah suatu pencerahan bagi kegelapan dunia ini ketika Allah menjadi manusia, Ia rela menjadi salah seorang anggota masyarakat warga? Kekotoran dan kehirukpikukan dunia ini tidak menjadikan-Nya miris dan apatis, tetapi justru sebaliknya. Maka secara teologis keterlibatan para anggota Gereja dalam dunia politik mendapat dasar kokoh kuat pada misteri inkarnasi (bdk. Yoh 1: 14).

Sejujurnya, para hierarki pun terlibat dalam politik. Akan tetapi istilah ‘politik’ ini perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas (largo sensu), yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Dalam konteks ini perlu disinggung kenyataan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara teori (ajaran) dan praksis. Hierarki memang tidak berpolitik praktis, dan tetap memegang teguh ketetapan dan ajaran Gereja tentang politik, namun sikap, ajaran, dan karya para hierarki Gereja sudah sangat sering berdampak pada politik praktis.

Contohnya kalau seorang Paus Yohanes Paulus II (almarhum) mengadakan kunjungan yang semata-mata ‘murni’ pastoral ke suatu negara yang totaliter dan korup, maka kedatangan pemimpin yang keagamaan yang kharismatis itu berpengaruh pada pelbagai kebijakan politis. Kunjungan itu dapat dipolitisasi sebagai bentuk afirmasi terhadap sistem kekuasaan yang berlaku di wilayah itu. Akan tetapi juga tidak kurang interpretasi yang menyatakan, bahwa visitasi pastoral itu memotivasi terjadinya pelbagai perubahan ke arah yang lebih baik, penataan kembali sejumlah kebijakan yang macet, dan kepeduliaan yang signifikan dari pihak pemerintah terhadap golongan dan kaum pinggiran dan yang dipinggirkan.

Contoh lain yang sangat gamblang adalah Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia tahun 1997 tentang pemilu, yang waktu itu akan segera diadakan di seantero Indonesia. Di tengah mentalitas “pembebekan” sebagai produk formasi politis selama 20 tahun terakhir masa Orde Baru, para waligereja dengan tegas-tegas menyatakan, “tidak menggunakan hak pilih (golput) itu tidak berdosa”. Ini suara kenabian. Sikap kritis ini hanya disuarakan secara resmi dan blak-blakan oleh para pemimpin Gereja Katolik Roma saja. Lebih profetis lagi, nubuat itu diperdengarkan pada saat yang pas. Terdengar jelas benar, bahwa suara itu bernuansa politis. Akan tetapi, kepentingan agama saat itu adalah menjunjung tinggi martabat hati nurani. Jangan sampai hati nurani dikorbankan hanya demi kepentingan kekuasaan yang sifatnya sementara saja. Ini pulalah dimensi moral suara kenabian agama, dalam hal ini Gereja.

Buku yang sedang Anda baca ini merupakan kumpulan karangan yang pernah tersebar dalam pelbagai kesempatan dan tempat. Karya ini mengumandangkan satu seruan dan ajakan: marilah kita berpolitik secara bener, bukan demi kekuasaan pada dirinya sendiri melainkan demi merayakan kemanusiaan, terutama kelompok massa yang dimarginalisasikan oleh kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan diskriminasi.

Akan tetapi, lebih daripada sekedar kumpulan karangan, karya ini memiliki jiwa yang merekatkan dan menalikan satu sama lain, yakni matra historis. Kita semua diberi kecakapan dan kemampuan untuk mengingat. Tidak semua hal kita ingat. Maka hal-hal yang kita ingat pun biasanya yang penting, yang bermakna, yang mengesankan, dan lain sejenisnya. Tetapi semua yang kita ingat selalu mengenai peristiwa, sesuatu, atau seseorang yang telah berlalu, atau sekurang-kurangnya sedang berlalu dari perspektif waktu yang terus berjalan.

Dengan kata-kata lain, objek memoria kita mengenai dimensi yang bersifat historis. Sebuah kemustahilan, jika memoria kita mengenai segala sesuatu yang masih akan datang atau masih akan terjadi. Oleh karena itu, memoria merepotkan dan menyibukkan diri pada muatan waktu silam yang berhubungan dengan kita secara kualitatif. Dan inilah hakikat arkhaik sejarah, yakni sebuah ingatan akan masa lalu.

Reaksi orang tentang masa lalu yang disingkapkan secara objektif (ini merupakan tugas yang penuh tantangan dalam ilmu kesejarahan) dapat bermacam-macam. Ada yang apatis (tidak menaruh perhatian barang sedikit pun), ada pula yang antusias (terutama karena menyangkut kepentingan hidupnya), dan lain sebagainya.

Mengaitkan ‘politik’ di satu pihak dengan ‘memoria’ di lain pihak akan membuahkan sikap – meminjam istilah Rudolf Otto – tremendum et fascinosum. Artinya, menggentarkan sekaligus menarik hati. Politik praktis tidak mengenal kawan atau lawan, sehingga begitu banyak orang melakukan simplifikasi dengan menganggap bahwa dalam dunia politik praktis satu-satunya yang abadi adalah kepentingan, yang diidentikkan dengan kekuasaan. Kompetensi moral di balik perjuangan kekuasaan itu adalah agar politicus mampu melayani masyarakat warga sehingga kemungkinan untuk mencapai bonum commune itu diperbesar dan diperluas.

Memoria masyarakat warga dan terutama para “korban” (survivor) sangat peka dan daya tampungnya sangat besar, bahkan boleh diumpamakan sebagai “sumur tanpa dasar”. Martabat masyarakat warga akan merasa direndahkan dan diinjak-injak jika para pengemban kekuasaan yang seharusnya berfungsi melayani, justru secara arogan malah menyengsarakannya.

Pertautan antara “politik” dan “memoria” selain yang sudah disebutkan juga akan menghasilkan etos yang mampu menghidupkan dan memotivasi para pelaku kebijakan publik dan “pemilik memoria” sama-sama memiliki jiwa (the soul). Politik yang berjiwa, dan memoria yang berjiwa. Atau secara lebih sederhana jiwa politik dan jiwa memoria. Soalnya adalah apa yang dimaksud dengan ‘jiwa’ tersebut? Di sini, saya menolak sama sekali anggapan yang acap kali dikemukakan bahwa moralitas dan spiritualitas menjadi monopoli orang-orang atau lembaga yang mengibarkan bendera keagamaan.

Memoria kita akan sejarah perpolitikan dekade-dekade terakhir di negeri ini mempertegas kenyataan tersebut. Justru lembaga yang mengaku berurusan langsung dengan moralitas, religiositas termasuk yang paling korup. Tampak ironis sekali, negeri yang paling banyak penduduknya mengaku diri sebagai beragama, malah carut marut dalam urusan keadilan, kekerasan dan penghormatan terhadap hidup, serta respek pada sesama masyarakat warga. Sampai pada taraf ini, fungsi sosial agama terutama sebagai ‘filter’ sudah tidak ada gunanya.

Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling jelas terbaca bukan pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh masing-masing pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human), seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan hidup diutamakan.

Maka dari itu, pembicaraan tentang politik dan memoria menyangkut harkat hidup kita semua sebagai manusia. Inilah salah satu makna terdalam manusia di hadapan Hyang Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat agama, ras, golongan etnis, tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita, melainkan “apa nilai manusia” di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat relatif jika diperhadapkan pada Sang Absolut Sejati.

Dengan menyatukan semua artikel, yang telah mengalami revisi ini, menjadi satu buku, kita dapat melihat satu rangkaian tulisan dari pena yang sama. Segala bentuk pengulangan gagasan sedapat mungkin dihindari, meski terkadang tidak berhasil.

Buku ini memuat tiga bagian. Pertama, memuat landasan ideologis dan teoritis. Secara praktis pada bagian ini, ketiga artikel mengangkat dasar-dasar pemikiran yang kemudian menghasilkan fundasi di mana semua rancang bangun berikutnya bertumpu. Berawal pada apa yang digagas secara spektakuler oleh Walter Benjamin, saya memberi judul Waktu Homogin & Kosong. Pokok-pokok pikiran dalam artikel ini dikembangkan dari materi ajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta dalam rangka matakuliah Filsafat Sejarah. Kemudian, gagasan Walter Benjamin ini bersinergi bahkan memberi ilham bagi pengembangan pokok pemikiran di bawah judul Mengapa Teologi Politik? yang pernah dipresentasikan dalam studi serial Bhumiksara 24 Agustus 2002 di Jakarta. Refleksi teologis dapat mencerahi siapa pun yang berkehendak baik untuk ikut serta memecahkan masalah sosial. Hal ini diuraikan dalam Peduli Masalah Sosial, yang pernah merupakan bagian Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual (Kanisius, 2000: 165-180).

Kedua, saya mengkategorikan di bawah judul landasan historis dan teologis. Inilah bagian inti buku ini, yang memuat Sakramen Politik (pernah dijabarkan dalam seminar dengan topik utama “Refleksi Historis-Teologis atas Kerasulan Dalam Bidang Politik”, di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya (5 Juni 2004); Teologi yang Melibat merupakan karangan asli; Perempuan dalam Diskursus Sosial pernah dimuat dalam Studia philosophica et theologica, Okt. 2005: 146-163; Reposisi Hubungan Agama dan Negara merupakan bahan studi bersama Bhumiksara, 29 April 2000 di Jakarta; dan Gugus Gagas Teologis merupakan pengembangan diskusi di Teater Utan Kayu, 22 Mei 2000.

Ketiga, saya maksudkan sebagai landasan praksis dan introspektif. Kiprah di Medan Politis yang merupakan bagian Etos & Moralitas Politik. Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum (Kanisius, 2004: 74-136). Selain itu, gagasan dalam Nubuat itu Sayup Benar Rasanya digelar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 27 Nov. 2006. Termasuk dalam bagian ini, Pematian & Kebisuan yang pernah dimuat di Reformata, Sept. 2003. Dua bahan terakhir Gereja dan Politik di Indonesia; Kebebasan dan Keindonesiaan masing-masing merupakan bahan penyuluhan dan salah satu materi pencerahan dalam matakuliah Pancasila di STF Driyakara.

Akhirnya, pergumulan saya menelisik kembali, membedah dan menganalisis kenyataan sosial dengan pendekatan serta matra sejarah sosial yang tercermin dalam dan melalui buku ini dimaksudkan untuk menyumbangkan gagasan yang mencerahkan. Semoga Anda juga termotivasi untuk terus mencari ‘jiwa’ yang cocok bagi perpolitikan insan Indonesia. Kita semestinya tidak merasa puas dan terus mencari, mengingat identitas kedirian kita sebagai insan peziarah. Keyakinan inilah yang tidak memungkinkan buku ini dianggap sebagai karya yang mutlak benar, definitif dan kalis dari kekurangan atau kelemahan. Namun ini semua tidak membebaskan saya dari peran sebagai penanggungjawab utama isi buku ini. Selamat membaca.
Judul Seri -
No. Panggil 261.7 KRI s
Penerbit Penerbit Lamalera : Yogyakarta.,
Deskripsi Fisik xlviii + 308 hlm.; 19 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 979-979-25-4801-7
Klasifikasi 261.7
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-1
Subyek Filsafat, Teologi
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain