Detail Cantuman
Text
Kebudayaan dan Agama
1015087101 | 306 GEE k | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1032639202 | 306 GEE k C-2 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Dalam buku kebudayaan dan agama, Clifford Geertz menjelaskan bahwa simbol-simbol keramat tertentu memuat makna dari hakikat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup dimasyarakatnya. Simbol-simbol keagamaan semacam itu mampu untuk menggiring bagaimana seseorang merasa cocok untuk melihat, merasa, berfikir, dan bertindak. Betul bahwa orang tidak hanya mempercayai apa yang dapat dilihat saja. Akan tetapi seseorang seringkali juga hanya akan melihat apa yang selama ini telah dia percayai. Bilamana kecocokan itu diberlakukan, diperteguh dan diulang-ulang dalam berbagai bentuk upacara bagi para warganya.
Agama berlaku sebagai sistem kebudayaan dan bukan sekedar sebuah idiologi hasil rekayasa sosial belaka, karena mengalami batas batas pemikiran penderitaan yang tertahankan, serta masalah masalah moral yang tak terpecahkan, manusia beragama tak sanggup membuat penafsiran dan menemukan adanya dunia lain yang aneh, khaos terselami. agama bukan soal bagaimana manusia memecahkan penderitaan melainkan manusia mampu menderita.
Agama sebagai sistem kebudayaan secara defitif dapat dijelaskan oleh Geertz, sebagai Suatu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang pada diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat terlihat sebagai suatu realitas yangunik. Yang disebut dengan sebuah sistem simbol adalah segala sesuatu yang memberikan seseorang ide-ide. Satu hal yang penting bahwa simbol-simbol dan ide-ide tersebut bukan bersifat pribadi, tetapi ide dan simbol tersebut milik masyarakat yang berada di luar individu. Sama dengan program komputer yang dapat diletakkan di dalam dan di luar komputernya. Program komputer tersebut dapat ditelaah dan dipelajari secara obyektif terpisah dari obyek fisik tempat dia diinstalkan, maka begitu juga dengan simbol religius. Meskipun simbol tersebut tertanam dalam pemikiran individu secara privasi, namun dia juga dapat diangkat dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut.
Simbol-simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang. Agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu. Motivasi tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu, dan orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, serta apa yang benar dan salah bagi dirinya. Bagi para pemeluk agama-agama tersebut akan mewujudkan impian mereka itu untuk mendapatkan pengalaman religius secara khusus di tempat yang disakralkan oleh tradisi masing-masing.
Geertz menjelaskan tentang etos suatu bangsa sebagai sifat, watak, dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan. Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka tentang kenyataan apa adanya, Konsep mereka tentang alam, diri, dan masyarakat. kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain. Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkan sebagai sebuah cara hidup yang tersirat oleh masalah-masalah actual dari cara hidup itu, dan cara hidup itu adalah suatu ekspresi otentik. Dia menjelaskan agama adalah sebagian usaha untuk memperbincangkan kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu,masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Akan tetapi makna hanya dapat disimpan didalam simbol. Simbol-simbol religius semacam itu dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dalam mitos-mitos sangat dirasakan bagi mereka yang tergetar oleh symbol-simbol itu.Yang membentuk sebuah system religius adalah serangkaian symbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur.
Karena dalam kepercayaan dan praktik religius termasuk dalam mitos, pandangan hidup suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal dijelaskan dengan melukiskanya sebagai suatu cara hidup yang secara ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu. Sementara itu, pandangan dunia dijelaskan secara emosional dan meyakinkan dengan menjelaskanya sebagai sebuah gambaran tentang permasalahan aktual yang khusunya ditata baik untuk menyelesaikan cara hidup seperti itu. Disatu pihak, hal itu mengobjektivikasikan pilihan-pilihan moral dan estetis dengan menggambarkannya sebagai kondisi-kondisi hidup yang dipaksakan dan yang implisit (mutlak) dalam suatu dunia dengan struktur tertentu, sebagai akal sehat belaka yang memberi bentuk tetap pada kenyataan. Di lain pihak, hal itu mendukung kepercayaan-kepercayaan tentang susunan dunia yang diakui ini dengan membangkitkan dan merasakan secara mendalam sentimen-sentimen moral dan estetis sebagai bukti eksperiensial untuk kebenaran pandangan hidup dan pandangan dunia itu
Seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, bahwa simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika khusus atau mutlak, dan dengan melakukan itu mereka akan mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain.
Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial lantas terletak pada kemampuan-kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan. Seperti yang Max Weber kemukakan bahwa peristiwa-peristiwa tidak hanya disana yang terjadi, melainkan peristiwa-peristiwa itu mempunyai sebuah makna dan terjadi karena makna itu.
Agama menopang tingkah laku yang layak dengan suatu dunia yang didalamnya tingkah laku adalah satu-satunya akal sehat. Etos dan pandangan dunia,antara gaya hidup yang diterima dan struktur kenyataan yang diandaikan, terdapat sesuatu yang dipahami sebagai sebuah kesesuaian yang jelas dan mendasar, sehingga keduanya saling melengkapi dan saling memberi makna satu sama lain, itulah yang menyebabkan tingkah laku adalah satu-satunya akal sehat.
Kekuatan perasaan bagi para pemeluk agama tidak datang begitu saja dan bukanlah hal yang sepele bagi mereka. Perasaan tersebut muncul karena agama memiliki peran yang amat penting, yaitu agama membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Geertz mengatakan bahwa agama mencoba memberikan “penjelasan hidup mati” tentang dunia. Agama bukan terkait dengan persoalan kehidupan sehari-hari seperti olah raga, permainan atau mode pakaian dan seni, melainkan terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia. Peran agama terasa penting bagi kehidupan masyarakat, terlihat jika agama telah kacau, maka yang akan terjadi adalah chaos (kekacauan) dalam seluruh tatanan kehidupan. Agama akan memperlihatkan jati dirinya ketika manusia secara inteletual menghadapi masalah yang tidak dapat dimengerti sepenuhnya, atau secara emosional mereka menghadapi penderitaan yang tidak dapat dihindari, atau secara moral mereka menyaksikan kejahatan di mana-mana yang tidak dapat mereka terima. Pada moment-moment seperti inilah peran agama akan sangat jelas terlihat, walaupun terkadang kelihatan bertentangan dengan kenyataan.
Geertz menjelaskan tentang etos, pandangan dunia, dan analisis atas simbol-simbol sakral. Penemuan akan adanya dunia lain dalam mengkaji bagaimana sebagai sistem kebudayaan adalah tak terhindarkan. Ini terjadi, menurut Geertz, karena keterbatasan seseorang pemeluk agama untuk membuat penafsiran. Dunia lain itu dialami ketika yang bersangkutan menghadapi atau mengalami hal atau peristiwa aneh, tak terselami lagi. Ada batas-batas tertentu dimana kemampuan berfikir tak dapat lagi berlanjut, penderitaan tak tertahankan lagi dan tak terpecahkan masalah moral-moral tertentu.
Selanjutnya dia menambahkan bahwa agama melekatkan konsep-konsep ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhimya perasaan dan motivasi tersebut akan terlihat sebagai realitas yang unik. Dengan ungkapan lain, behwa agama membentuk sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut. Hal yang membedakan agama dengan sistem kebudayaan lain adalah simbol-simbol dalam agama yang menyatakan kepada kita bahwa terdapat sesuatu yang benar-benar nyata, sesuatu yang oleh pemeluknya dianggap lebih penting dari apapun. Dalam ritualitas keagamaan, manusia dimasuki oleh rasa desakan realitas riil ini. Perasaan dan motivasi seseorang dalam ritual keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya. Keduanya saling memberikan kekuatan. Pandangan hidup seseorang mengatakan dia hams merasakan sesuatu, dan pada gilirannya perasaan tersebut mengatakan bahwa pandangan hidupnya adalah pandangan yang benar dan tidak dapat diragukan lagi. Satu penyatuan simbolis antara pandangan hidup dengan etos akan terlihat dalam ritual. Apa yang dilakukan seseorang yang merasa harus dilakukannya (etosnya) selalu akan selaras dengan gambaran dunia yang teraktualisasi dalam pikirannya.
Agama berlaku sebagai sistem kebudayaan dan bukan sekedar sebuah idiologi hasil rekayasa sosial belaka, karena mengalami batas batas pemikiran penderitaan yang tertahankan, serta masalah masalah moral yang tak terpecahkan, manusia beragama tak sanggup membuat penafsiran dan menemukan adanya dunia lain yang aneh, khaos terselami. agama bukan soal bagaimana manusia memecahkan penderitaan melainkan manusia mampu menderita.
Agama sebagai sistem kebudayaan secara defitif dapat dijelaskan oleh Geertz, sebagai Suatu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang pada diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat terlihat sebagai suatu realitas yangunik. Yang disebut dengan sebuah sistem simbol adalah segala sesuatu yang memberikan seseorang ide-ide. Satu hal yang penting bahwa simbol-simbol dan ide-ide tersebut bukan bersifat pribadi, tetapi ide dan simbol tersebut milik masyarakat yang berada di luar individu. Sama dengan program komputer yang dapat diletakkan di dalam dan di luar komputernya. Program komputer tersebut dapat ditelaah dan dipelajari secara obyektif terpisah dari obyek fisik tempat dia diinstalkan, maka begitu juga dengan simbol religius. Meskipun simbol tersebut tertanam dalam pemikiran individu secara privasi, namun dia juga dapat diangkat dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut.
Simbol-simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang. Agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu. Motivasi tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu, dan orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, serta apa yang benar dan salah bagi dirinya. Bagi para pemeluk agama-agama tersebut akan mewujudkan impian mereka itu untuk mendapatkan pengalaman religius secara khusus di tempat yang disakralkan oleh tradisi masing-masing.
Geertz menjelaskan tentang etos suatu bangsa sebagai sifat, watak, dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan. Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka tentang kenyataan apa adanya, Konsep mereka tentang alam, diri, dan masyarakat. kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain. Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkan sebagai sebuah cara hidup yang tersirat oleh masalah-masalah actual dari cara hidup itu, dan cara hidup itu adalah suatu ekspresi otentik. Dia menjelaskan agama adalah sebagian usaha untuk memperbincangkan kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu,masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Akan tetapi makna hanya dapat disimpan didalam simbol. Simbol-simbol religius semacam itu dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dalam mitos-mitos sangat dirasakan bagi mereka yang tergetar oleh symbol-simbol itu.Yang membentuk sebuah system religius adalah serangkaian symbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur.
Karena dalam kepercayaan dan praktik religius termasuk dalam mitos, pandangan hidup suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal dijelaskan dengan melukiskanya sebagai suatu cara hidup yang secara ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu. Sementara itu, pandangan dunia dijelaskan secara emosional dan meyakinkan dengan menjelaskanya sebagai sebuah gambaran tentang permasalahan aktual yang khusunya ditata baik untuk menyelesaikan cara hidup seperti itu. Disatu pihak, hal itu mengobjektivikasikan pilihan-pilihan moral dan estetis dengan menggambarkannya sebagai kondisi-kondisi hidup yang dipaksakan dan yang implisit (mutlak) dalam suatu dunia dengan struktur tertentu, sebagai akal sehat belaka yang memberi bentuk tetap pada kenyataan. Di lain pihak, hal itu mendukung kepercayaan-kepercayaan tentang susunan dunia yang diakui ini dengan membangkitkan dan merasakan secara mendalam sentimen-sentimen moral dan estetis sebagai bukti eksperiensial untuk kebenaran pandangan hidup dan pandangan dunia itu
Seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, bahwa simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika khusus atau mutlak, dan dengan melakukan itu mereka akan mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain.
Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial lantas terletak pada kemampuan-kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan. Seperti yang Max Weber kemukakan bahwa peristiwa-peristiwa tidak hanya disana yang terjadi, melainkan peristiwa-peristiwa itu mempunyai sebuah makna dan terjadi karena makna itu.
Agama menopang tingkah laku yang layak dengan suatu dunia yang didalamnya tingkah laku adalah satu-satunya akal sehat. Etos dan pandangan dunia,antara gaya hidup yang diterima dan struktur kenyataan yang diandaikan, terdapat sesuatu yang dipahami sebagai sebuah kesesuaian yang jelas dan mendasar, sehingga keduanya saling melengkapi dan saling memberi makna satu sama lain, itulah yang menyebabkan tingkah laku adalah satu-satunya akal sehat.
Kekuatan perasaan bagi para pemeluk agama tidak datang begitu saja dan bukanlah hal yang sepele bagi mereka. Perasaan tersebut muncul karena agama memiliki peran yang amat penting, yaitu agama membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Geertz mengatakan bahwa agama mencoba memberikan “penjelasan hidup mati” tentang dunia. Agama bukan terkait dengan persoalan kehidupan sehari-hari seperti olah raga, permainan atau mode pakaian dan seni, melainkan terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia. Peran agama terasa penting bagi kehidupan masyarakat, terlihat jika agama telah kacau, maka yang akan terjadi adalah chaos (kekacauan) dalam seluruh tatanan kehidupan. Agama akan memperlihatkan jati dirinya ketika manusia secara inteletual menghadapi masalah yang tidak dapat dimengerti sepenuhnya, atau secara emosional mereka menghadapi penderitaan yang tidak dapat dihindari, atau secara moral mereka menyaksikan kejahatan di mana-mana yang tidak dapat mereka terima. Pada moment-moment seperti inilah peran agama akan sangat jelas terlihat, walaupun terkadang kelihatan bertentangan dengan kenyataan.
Geertz menjelaskan tentang etos, pandangan dunia, dan analisis atas simbol-simbol sakral. Penemuan akan adanya dunia lain dalam mengkaji bagaimana sebagai sistem kebudayaan adalah tak terhindarkan. Ini terjadi, menurut Geertz, karena keterbatasan seseorang pemeluk agama untuk membuat penafsiran. Dunia lain itu dialami ketika yang bersangkutan menghadapi atau mengalami hal atau peristiwa aneh, tak terselami lagi. Ada batas-batas tertentu dimana kemampuan berfikir tak dapat lagi berlanjut, penderitaan tak tertahankan lagi dan tak terpecahkan masalah moral-moral tertentu.
Selanjutnya dia menambahkan bahwa agama melekatkan konsep-konsep ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhimya perasaan dan motivasi tersebut akan terlihat sebagai realitas yang unik. Dengan ungkapan lain, behwa agama membentuk sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut. Hal yang membedakan agama dengan sistem kebudayaan lain adalah simbol-simbol dalam agama yang menyatakan kepada kita bahwa terdapat sesuatu yang benar-benar nyata, sesuatu yang oleh pemeluknya dianggap lebih penting dari apapun. Dalam ritualitas keagamaan, manusia dimasuki oleh rasa desakan realitas riil ini. Perasaan dan motivasi seseorang dalam ritual keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya. Keduanya saling memberikan kekuatan. Pandangan hidup seseorang mengatakan dia hams merasakan sesuatu, dan pada gilirannya perasaan tersebut mengatakan bahwa pandangan hidupnya adalah pandangan yang benar dan tidak dapat diragukan lagi. Satu penyatuan simbolis antara pandangan hidup dengan etos akan terlihat dalam ritual. Apa yang dilakukan seseorang yang merasa harus dilakukannya (etosnya) selalu akan selaras dengan gambaran dunia yang teraktualisasi dalam pikirannya.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 306 GEE k |
Penerbit | Kanisius : Yogyakarta., 1992 |
Deskripsi Fisik | xiv + 112 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-413-747-2 |
Klasifikasi | 306 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Kebudayaan |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Clifford Geertz |
Tidak tersedia versi lain