Detail Cantuman
Text
Sabda Zarathustra
1015320101 | 833 NIE s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1015321102 | 833 NIE s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1015322103 | 833 NIE s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1015323104 | 833 NIE s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1019541105 | 833 NIE s | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-11-28) |
Benarkah Nietzsche seorang Ateis? Dia lebih kompleks dari sekadar Ateis.
Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman yang berpikiran bahwa Tuhan telah mati. Pada 1865, dia meninggalkan agamanya (Kristen) untuk melancarkan serangan kepada kaum Teisme melalui bukunya “Thus Spake Zarathustra”. Dia menceritakan kehidupannya melalui seorang tokoh bernama Zarathustra. Dengan tokoh ini, Nietzsche menjelaskan bahwa filsafat tidak akan berkembang apabila masih terbelenggu Teologi yang mendominasi aturan dan nilai yang ada dalam masyarakat saat itu. Di sini, Zarathustra adalah seorang yang jujur. Kejujuran yang dia sampaikan berupa prinsip dan doktrin berupa pandangan kebenaran atau perspektivisme. “Thus Spake Zarathustra” merupakan tulisan tangan Nietzsche yang berisi sejarah persahabatan, angan-angan, kegembiraan, dan dukanya yang paling kelam. Dari bukunya itulah Nietzsche dikenal sebagai filsuf jujur dan berani mengungkapkan segala kebobrokan manusia yang diselubungi berbagai dalih cemerlang ketika dilihat dari luar.
Inti prolog buku ini berisi sebuah cerita ketika Zarathustra sedang berada di tengah keramaian pertunjukan penari tambang. Dia berteriak “Tuhan telah mati!”. Seketika, orang-orang di sekelilingnya mengatakan dia tidak waras. Zarathustra mengatakan bahwa manusia adalah sebuah jembatan antara hewan dan Adimanusia, Manusia Unggul (Ubermensch). Orang yang menyebrangi jembatan itu bisa jatuh ke kanan atau ke kiri kapan saja ketika bimbang. Artinya, manusia harus menentukan sebuah pilihan maju atau mundur. Perlu usaha dan tekad untuk menjadi seorang manusia yang unggul, dan bagi mereka yang gagal akan terjatuh dan tertinggal, kemudian dilupakan begitu saja. Mereka yang gagal tetap menjadi manusia hingga mati. Seperti halnya manusia menertawakan seekor kera, akan sama halnya dengan ketika Adimanusia menertawakan manusia.
Nietzshe membongkar banyak permasalahan Teologi melalui sebuah objektivitas menurut pahamnya. Dalam arti, objektivitas yang memandang sesuatu dari perbedaan sudut pandang. Dia mengkritisi moralitas Kristen yang dilihatnya sebagai bentuk paling nyata dari ideal asketisme, mengasingkan manusia dari kemanusiaan. Dia juga memprovokasi kebudayaan barat pada saat itu, bahwa hidup akan lebih bernilai ketika Tuhan sudah lenyap. Banyak orang mengatakan bahwa Nietzsche adalah seorang Ateis karena teori-teorinya yang menyinggung masalah teologi. Namun, Nietzshe tidak bisa dikatakan sebagai orang Ateis begitu saja ketika dia mengatakan “Tuhan telah mati”. Justru dia menegaskan keberadan Tuhan. Pernyataan bahwa Tuhan telah mati lebih tepat sebagai penetapan waktu bahwa Tuhan itu ada, tapi dulu, dan sekarang tidak ada lagi.
Menurutnya, agama menghambat transformasi manusia dengan meracuni pikiran seseorang dengan kebohongan. Sebuah asketisme yang membuat manusia tetap terbelengu dalam lingkaran kesengsaraan selama berabad-abad lamanya. Agama juga membuat manusia mati sejak mereka dilahirkan karena kepasrahan dan kemalasan yang diajarkan dalam agama. Bahkan mereka akan sangat senang jika mereka mati.
Dia juga menguraikan permasalahan yang bersifat sensitif, seperti perang, perempuan, nasionalisme, hingga membongkar kecacatan dan membuka borok teori ketuhanan yang sudah dianggap umum pada saat itu. Satu bukti bahwa Nietzsche cukup diminati adalah perannya yang dikaitkan dengan postmodernisme. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang mendukung pandangan yang condong ke kiri, legalitarian, dan pluralistik. Di lain pihak, relativisme ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan moderisme liberal yang justru selama ini dikritik oleh Nietzsche. Di pihak yang berbeda pula, kaum postmodernis cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi kebudayaan. Oleh sebab itu, sebutan Nietzsche untuk individu yang berdaulat sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-tanda postmodern.
Nietzsche meramalkan datangnya zaman ketika manusia akan menyadari bahwa Tuhan tidak pernah ada. Kesadaran tersebut tentu saja membutuhkan proses dalam waktu yang cukup lama. Pada awalnya manusia mempunyai imajinasi tinggi yang mampu menciptakan khayalan. Secara tidak langsung khayalan itu mengatur semua orang dan dirinya sendiri melebihi hukum. Khayalan tersebut adalah Tuhan, yang berarti bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Kemudian adalah zaman ketika manusia mulai sadar bahwa mereka kehilangan Tuhan. Nietzsche percaya zaman itu akan datang sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan. Karena dengan kematian Tuhan, akan terbuka pemikiran kreatif untuk mengembangkan kemampuan dan potensi manusia secara maksimal. Tahap terakhir adalah zaman datangnya Sang Adimanusia (Ubermensch). Pada tahap ini terjadi suatu proses perubahan cara pandang. Adimanusia atau Ubermensch akan sepenuhnya menghayati atau lebih tepatnya membiarkan dirinya diresapi oleh kehendak untuk berkuasa. Pada zaman ini muncul sebuah awal peradaban baru, ketika manusia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun manusia akan hidup untuk sesamanya dan generasi penerus melanjutkan kehidupan yang lebih baik.
Tujuan dari buku ini adalah Nietzsche hendak menyadarkan manusia dari selubung kepalsuan yang sebanarnya mematikan eksistensi manusia. Ketika manusia tidak menyadari bahwa ia memiliki kehendak, maka hidunya hanya sekadar berjalan tak tentu arah. Nietzsche meradikalkan konsep ini dengan kehendak untuk berkuasa seperti wujud dari manusia yang Adikuasa. Dengan demikian, manusia super tersebut dapat menghadapi seluruh rintangan hidup. Kritik Nietzsche terhadap kemunafikan kaum beragama masih relevan hingga saat ini. Hanya saja mungkin tak perlu membunuh Tuhan. Seperti yang diutarakan Nietzsche.
Sabda Zarathustra merupakan rangkaian syair yang alurnya rumit. Pembaca hendaknya menguasai setiap kata dan kaliamat serupa majas. Kesulitan penerjemah dalam mengartikan kata dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris menjadi kekurangan buku ini. Namun, dibalik bahasanya yang tidak mudah dipahami, buku setebal 497 halaman ini dapat memperluas cakrawala pembaca dan memberi pengaruh terhadap penulisan filsafat menjadi lebih bermutu. Kata-kata yang awalnya sulit dimengerti, menjadi lebih mudah dipahami lewat syair-syair Zarathustra dalam bentuk aforisme, prinsip atau doktrin kebenaran Nietzsche yang sudah dianggap umum. Selain itu, buku bercover wajah Nietzshe ini menuliskan banyak nasihat yang baik tanpa menggurui pembacanya. Poin terpenting dari buku ini adalah pembaca bebas menentukan apakah Zarathustra merupakan sosok yang berani dan jujur ataukah sosok yang sering kali disebut sebagai ‘iblis’ oleh sebagian besar orang. Akhirnya, para pembacalah yang berhak menentukan antara baik dan buruk seorang Nietzsche.
Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman yang berpikiran bahwa Tuhan telah mati. Pada 1865, dia meninggalkan agamanya (Kristen) untuk melancarkan serangan kepada kaum Teisme melalui bukunya “Thus Spake Zarathustra”. Dia menceritakan kehidupannya melalui seorang tokoh bernama Zarathustra. Dengan tokoh ini, Nietzsche menjelaskan bahwa filsafat tidak akan berkembang apabila masih terbelenggu Teologi yang mendominasi aturan dan nilai yang ada dalam masyarakat saat itu. Di sini, Zarathustra adalah seorang yang jujur. Kejujuran yang dia sampaikan berupa prinsip dan doktrin berupa pandangan kebenaran atau perspektivisme. “Thus Spake Zarathustra” merupakan tulisan tangan Nietzsche yang berisi sejarah persahabatan, angan-angan, kegembiraan, dan dukanya yang paling kelam. Dari bukunya itulah Nietzsche dikenal sebagai filsuf jujur dan berani mengungkapkan segala kebobrokan manusia yang diselubungi berbagai dalih cemerlang ketika dilihat dari luar.
Inti prolog buku ini berisi sebuah cerita ketika Zarathustra sedang berada di tengah keramaian pertunjukan penari tambang. Dia berteriak “Tuhan telah mati!”. Seketika, orang-orang di sekelilingnya mengatakan dia tidak waras. Zarathustra mengatakan bahwa manusia adalah sebuah jembatan antara hewan dan Adimanusia, Manusia Unggul (Ubermensch). Orang yang menyebrangi jembatan itu bisa jatuh ke kanan atau ke kiri kapan saja ketika bimbang. Artinya, manusia harus menentukan sebuah pilihan maju atau mundur. Perlu usaha dan tekad untuk menjadi seorang manusia yang unggul, dan bagi mereka yang gagal akan terjatuh dan tertinggal, kemudian dilupakan begitu saja. Mereka yang gagal tetap menjadi manusia hingga mati. Seperti halnya manusia menertawakan seekor kera, akan sama halnya dengan ketika Adimanusia menertawakan manusia.
Nietzshe membongkar banyak permasalahan Teologi melalui sebuah objektivitas menurut pahamnya. Dalam arti, objektivitas yang memandang sesuatu dari perbedaan sudut pandang. Dia mengkritisi moralitas Kristen yang dilihatnya sebagai bentuk paling nyata dari ideal asketisme, mengasingkan manusia dari kemanusiaan. Dia juga memprovokasi kebudayaan barat pada saat itu, bahwa hidup akan lebih bernilai ketika Tuhan sudah lenyap. Banyak orang mengatakan bahwa Nietzsche adalah seorang Ateis karena teori-teorinya yang menyinggung masalah teologi. Namun, Nietzshe tidak bisa dikatakan sebagai orang Ateis begitu saja ketika dia mengatakan “Tuhan telah mati”. Justru dia menegaskan keberadan Tuhan. Pernyataan bahwa Tuhan telah mati lebih tepat sebagai penetapan waktu bahwa Tuhan itu ada, tapi dulu, dan sekarang tidak ada lagi.
Menurutnya, agama menghambat transformasi manusia dengan meracuni pikiran seseorang dengan kebohongan. Sebuah asketisme yang membuat manusia tetap terbelengu dalam lingkaran kesengsaraan selama berabad-abad lamanya. Agama juga membuat manusia mati sejak mereka dilahirkan karena kepasrahan dan kemalasan yang diajarkan dalam agama. Bahkan mereka akan sangat senang jika mereka mati.
Dia juga menguraikan permasalahan yang bersifat sensitif, seperti perang, perempuan, nasionalisme, hingga membongkar kecacatan dan membuka borok teori ketuhanan yang sudah dianggap umum pada saat itu. Satu bukti bahwa Nietzsche cukup diminati adalah perannya yang dikaitkan dengan postmodernisme. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang mendukung pandangan yang condong ke kiri, legalitarian, dan pluralistik. Di lain pihak, relativisme ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan moderisme liberal yang justru selama ini dikritik oleh Nietzsche. Di pihak yang berbeda pula, kaum postmodernis cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi kebudayaan. Oleh sebab itu, sebutan Nietzsche untuk individu yang berdaulat sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-tanda postmodern.
Nietzsche meramalkan datangnya zaman ketika manusia akan menyadari bahwa Tuhan tidak pernah ada. Kesadaran tersebut tentu saja membutuhkan proses dalam waktu yang cukup lama. Pada awalnya manusia mempunyai imajinasi tinggi yang mampu menciptakan khayalan. Secara tidak langsung khayalan itu mengatur semua orang dan dirinya sendiri melebihi hukum. Khayalan tersebut adalah Tuhan, yang berarti bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Kemudian adalah zaman ketika manusia mulai sadar bahwa mereka kehilangan Tuhan. Nietzsche percaya zaman itu akan datang sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan. Karena dengan kematian Tuhan, akan terbuka pemikiran kreatif untuk mengembangkan kemampuan dan potensi manusia secara maksimal. Tahap terakhir adalah zaman datangnya Sang Adimanusia (Ubermensch). Pada tahap ini terjadi suatu proses perubahan cara pandang. Adimanusia atau Ubermensch akan sepenuhnya menghayati atau lebih tepatnya membiarkan dirinya diresapi oleh kehendak untuk berkuasa. Pada zaman ini muncul sebuah awal peradaban baru, ketika manusia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun manusia akan hidup untuk sesamanya dan generasi penerus melanjutkan kehidupan yang lebih baik.
Tujuan dari buku ini adalah Nietzsche hendak menyadarkan manusia dari selubung kepalsuan yang sebanarnya mematikan eksistensi manusia. Ketika manusia tidak menyadari bahwa ia memiliki kehendak, maka hidunya hanya sekadar berjalan tak tentu arah. Nietzsche meradikalkan konsep ini dengan kehendak untuk berkuasa seperti wujud dari manusia yang Adikuasa. Dengan demikian, manusia super tersebut dapat menghadapi seluruh rintangan hidup. Kritik Nietzsche terhadap kemunafikan kaum beragama masih relevan hingga saat ini. Hanya saja mungkin tak perlu membunuh Tuhan. Seperti yang diutarakan Nietzsche.
Sabda Zarathustra merupakan rangkaian syair yang alurnya rumit. Pembaca hendaknya menguasai setiap kata dan kaliamat serupa majas. Kesulitan penerjemah dalam mengartikan kata dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris menjadi kekurangan buku ini. Namun, dibalik bahasanya yang tidak mudah dipahami, buku setebal 497 halaman ini dapat memperluas cakrawala pembaca dan memberi pengaruh terhadap penulisan filsafat menjadi lebih bermutu. Kata-kata yang awalnya sulit dimengerti, menjadi lebih mudah dipahami lewat syair-syair Zarathustra dalam bentuk aforisme, prinsip atau doktrin kebenaran Nietzsche yang sudah dianggap umum. Selain itu, buku bercover wajah Nietzshe ini menuliskan banyak nasihat yang baik tanpa menggurui pembacanya. Poin terpenting dari buku ini adalah pembaca bebas menentukan apakah Zarathustra merupakan sosok yang berani dan jujur ataukah sosok yang sering kali disebut sebagai ‘iblis’ oleh sebagian besar orang. Akhirnya, para pembacalah yang berhak menentukan antara baik dan buruk seorang Nietzsche.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 833 NIE s |
Penerbit | Pustaka Pelajar : Yogyakarta., 2014 |
Deskripsi Fisik | 497 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-9289-86-6 |
Klasifikasi | 833 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-3 |
Subyek | - |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Friedrich Nietzshe |
Tidak tersedia versi lain