Corpus salib di ruang pastoran itu menangis. Air matanya menetes ke lantai. Tongkat dengan pisau di dalamnya kaget melihat salib menangis. “Mengapa kamu menangis, salib? Apakah kamu sakit atau sedih?” Corpus salib melihat ke arah suara. Demi dilihatnya yang bertanya tongkat dengan pisau di dalamnya, tangis si salib agak reda. Lalu, sambil masih terisak-isak, salib itu berkata, “Maaf ya, kamu ini pisau, pedang atau golok? Kita belum berkenalan bukan?” Tongkat berpisau itu memperkenalkan diri, “Ah salib. Aku ini barang murahan yang tak bernama. Aku jelas bukan katana yang hebat dari Jepang itu. Bukan kujang sunda atau keris jawa yang juga sangat terkenal. Aku ini pisau panjang biasa yang tak jelas predikatnya, dan sebenarnya dibuat hanya untuk hiasan.

Itulah penggalan Novel Sebilah Salib, karya F. Rahardi. Novel ini berkisah tentang suka duka kehidupan menggereja tahun 1993 di sebuah paroki. Secara khusus novel ini mengungkap kegigihan seorang imam diosesan dalam memenuhi panggilan, melayani umat dan mempertahankan kehidupan imamatnya. Saat itu belum ada HP, belum ada internet, dan memotret masih menggunakan kamera analog dengan film seluloid.