Detail Cantuman
Text
Teologi Pluralis-multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan
1021332101 | 291 ALI t | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Di kalangan cendekian Muslim, semakin banyak upaya mendekatkan berbagai perbedaan dan mengutamakan persamaan, untuk menegaskan bahwa umat beragama memiliki kesamaan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan di mana mereka bisa membangun hubungan yang saling menghargai dan penuh kedamaian. Di antaranya adalah Abdulaziz Sachedina, professor berkebangsaan Mesir, dengan bukunya The Islamic Root for Democratic Pluralism (2001).
Upaya Sachedina itu sejalan dengan upaya banyak cendikiawan Muslim Indonesia dalam mencari akar-akar Islam atas pluralisme. Beberapa poin penting yang perlu kita gali dalam rangka memperkuat basis pluralisme adalah sebagai berikut
Pertama, umat manusia pada hakikatnya adalah sejajar Setiap insan memiliki kermatan sebagai manusia (human dignity) yang sama, tanpa membedakan agama, etnis, dan budaya. Human beings are members in a body whole related, from a single essence are they all created, kata Syaikh Sa’di (w.1292). manusia itu bersatu dalam satu Tuhan (unity of mankind under One God), terlepas adanya perbedaan ‘persepsi’ manusi terhadap-Nya. Setiap nabi yang diutus memiliki dimensi particular dan universal sekaligus. Dan, bagi Muslim pengikut Nabi Muhammad SAW, fungsi al-Qur’an adalah pembenar seluruh nabi, menjadi saksi bagi perbedaan-perbedaan itu.
Kedua, pluralisme agama terletak. Mengakui usaha pencarian kebenaran dalam berbagai tradisi, sambal menyerahkan keputusan final pada Tuhan semata. Sementara itu, dalam keterbatasannya, manusia harus selalu berbuat kebajikan (khair). Di dalam hal ini Islam juga mengajarkan moralitas bersama (common morality) yang melampaui tradisi-tradisi agama.
Ketiga, pluralisme agama adalah kebebasan beragama. Rujukan-rujan ‘kafir’ dalam al-Qur’an, yang umumnya digeneralisir oleh kaum ‘fundamentalis’ sebagai berarti semua non-Muslim sekarang, kebanyakannya ditujukan kepada pagan Arab dan permusuhan mereka terhadap misi Muhammad sebelum prestise Islam berkembang. Kecenderungan kekerasan dan perang yang diambil kaum fundamentalis jelas bertentangan dengan ajakan al-Qur’an untuk percaya pada Tuhan dan berbuat baik, melalui hikmah, mauizhah hasanah, dan dialog yang baik.
Paradigma Baru Misi Agama-agama
Globalisasi, migrasi, dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup bersama (vivbre ensemble) bagi masyarakat multibudaya dan agama seperti Indonesia. Di tambah lagi, kini perkembangan ideology, agama-agama dan bentuk spritualiatas baru muncul bak jamur di musim hujan di sinilah mengapa suatu paradigm baru misi agama-agama menjadi amat mendesak.
Pertama-tama, perlu ada perubahan paradigm (paradigm shift). Jika perubahan paradigm dalam teologi diarahkan untuk menunjukkan, penyelamatan juga dimiliki agama lain, maka perubahan paradigm yang sedang kita alami membawa kita melihat misi sebagai uopaya pencarian (searching) guna memahami penyelamatan sebagaimana diekspresikan dalam agama-agama lain.
Upaya Sachedina itu sejalan dengan upaya banyak cendikiawan Muslim Indonesia dalam mencari akar-akar Islam atas pluralisme. Beberapa poin penting yang perlu kita gali dalam rangka memperkuat basis pluralisme adalah sebagai berikut
Pertama, umat manusia pada hakikatnya adalah sejajar Setiap insan memiliki kermatan sebagai manusia (human dignity) yang sama, tanpa membedakan agama, etnis, dan budaya. Human beings are members in a body whole related, from a single essence are they all created, kata Syaikh Sa’di (w.1292). manusia itu bersatu dalam satu Tuhan (unity of mankind under One God), terlepas adanya perbedaan ‘persepsi’ manusi terhadap-Nya. Setiap nabi yang diutus memiliki dimensi particular dan universal sekaligus. Dan, bagi Muslim pengikut Nabi Muhammad SAW, fungsi al-Qur’an adalah pembenar seluruh nabi, menjadi saksi bagi perbedaan-perbedaan itu.
Kedua, pluralisme agama terletak. Mengakui usaha pencarian kebenaran dalam berbagai tradisi, sambal menyerahkan keputusan final pada Tuhan semata. Sementara itu, dalam keterbatasannya, manusia harus selalu berbuat kebajikan (khair). Di dalam hal ini Islam juga mengajarkan moralitas bersama (common morality) yang melampaui tradisi-tradisi agama.
Ketiga, pluralisme agama adalah kebebasan beragama. Rujukan-rujan ‘kafir’ dalam al-Qur’an, yang umumnya digeneralisir oleh kaum ‘fundamentalis’ sebagai berarti semua non-Muslim sekarang, kebanyakannya ditujukan kepada pagan Arab dan permusuhan mereka terhadap misi Muhammad sebelum prestise Islam berkembang. Kecenderungan kekerasan dan perang yang diambil kaum fundamentalis jelas bertentangan dengan ajakan al-Qur’an untuk percaya pada Tuhan dan berbuat baik, melalui hikmah, mauizhah hasanah, dan dialog yang baik.
Paradigma Baru Misi Agama-agama
Globalisasi, migrasi, dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup bersama (vivbre ensemble) bagi masyarakat multibudaya dan agama seperti Indonesia. Di tambah lagi, kini perkembangan ideology, agama-agama dan bentuk spritualiatas baru muncul bak jamur di musim hujan di sinilah mengapa suatu paradigm baru misi agama-agama menjadi amat mendesak.
Pertama-tama, perlu ada perubahan paradigm (paradigm shift). Jika perubahan paradigm dalam teologi diarahkan untuk menunjukkan, penyelamatan juga dimiliki agama lain, maka perubahan paradigm yang sedang kita alami membawa kita melihat misi sebagai uopaya pencarian (searching) guna memahami penyelamatan sebagaimana diekspresikan dalam agama-agama lain.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 291 ALI t |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas : Jakarta., 2003 |
Deskripsi Fisik | xxvi + 298 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-709-104-X |
Klasifikasi | 291 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Pluralisme |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Muhamad Ali |
Tidak tersedia versi lain