Detail Cantuman
Text
Rindu Kami Padamu
1022588201 | 813 NUG r | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Novel “Rindu Kami PadaMu” diangkat dari skenario film “Rindu Kami PadaMu” karya Garin Nugroho dan Armontoro yang berkisah tentang pencarian cinta tiga anak manusia. Gagasannya dibangun atas dasar kesadaran bahwa religiusitas sebenarnya selalu tampil dalam soal sehari – hari dan remeh – remeh yang meneyentuh lubuk hati. Religiusitas bukan berlangsung di tempat ibadah, tetapi dalam denyut nadi kehidupan sehari – hari. Judul buku ini diambil dari kelompok Bimbo yang syairnya ditulis oleh Taufik Ismail.
Dalam novel ini , pembaca akan dibawa ke dalam kehidupan di perkampungan kumuh terutama pada anak – anak yang merindukan kasih sayang orang yang dicintainya dengan segala perilaku anehnya yang membuat penasaran orang – orang disekitarnya. Selain itu religiusitas yang teramat kental menyalimuti keseharian mereka.
Rindu, gadis bisu yang suka melukis itu sempat hidup sebatangkara. Sejak perpisahannya dengan kakaknya 4 tahun lalu, akibat penggusuran di pemukiman kumuh. Namun, beruntung ada Bu Imah, seorang pedagang pasar yang memungutnya sebagai anak angkat.
Suatu ketika ia bersikap aneh, Rindu melukis masjid hingga sebulanan ia belum – belum juga melukis kubahnya walaupun sampai ibu angkatnya dan tetangganya mengajarinya menggambar kubah masjid. Sementara itu masjid yang belum diberi kubah di kompleks rumahnya juga sedang direncanakan renovasi namun belum kelar juga. Dalam hatinya, Rindu berharap Lanang akan datang membawakan kubah untuk masjid tersebut, namun orang – orang tidak tahu tentang hal tersebut.
Hingga suatu ketika, ia terinspirasi film yang dilihatnya dan ia pun menirukannya. Membeli merpati untuk mengirimkan lukisan dan pesan untuk kakak yang dirindukannya. Ibu angkatnya yang membuka gulungan kertas di kaki merpati itu, tertegun dan sedih membacanya. Beliau baru mengerti alasan sikap anehnya akhir – akhir ini.
Sementara itu, di kompleks pasar itu ada seorang gadis bernama Asih. Ia hanya tinggal bersama ayahnya. Ibu Asih meninggalkan keluarganya sudah sekian lama karena tidak tahan dengan kebiasaan suaminya yang suka berjudi dan bermain kasar. Namun, saat ini ayahnya telah bertaubat dengan mengabdi di masjid di kompleksnya.
Sama halnya dengan Rindu, Asih juga bersikap aneh. Ia tidak mau melepas sajadah tuanya. Ayahnya yang membelikan sajadah baru pun ditolaknya, pernah dijual sajadahnya oleh ayahnya dicarinya juga ke pasar sampai mengikuti orang yang membelinya. Ia bersikeras tetap memiliki sajadah tersebut karena ia berpikir bahwa dengan sajadah tersebut ia bisa bertemu dengan ibunya.
Selain itu, ada kisah dari Bimo. Seorang anak yang tinggal bersama kakaknya. Orang tuanya sudah meninggal lama. Ia sangat merindukan kasih sayang dari Ibunya. Hingga ada Mbak Cantik ngekos di deket rumahnya, ia sering main ke tempatnya. Apalagi Bimo senang sekali jika disuruh membuatkan mie yang dikasih telur. Berawal dari itu, Bimo selalu membawa telur jika mau pergi kemana saja. Oleh karena ia sangat sayang dengan Mbak Cantik Bimo memanggilnya dengan sebutan “Ibu”. Namun, sempat Mbak Cantik tidak mau dipanggil Ibu dan mengusir Bimo dari rumahnya. Bimo pun ngambek seharian di rumah.
Akhir cerita dari novel ini, Rindu tak melukis lagi masjid tanpa kubah, karena kakaknya telah kembali dengan kubah indah. Sedang Asih tidak bertingkah aneh lagi dengan sajadah tuanya karena ibu yang dirindukannya telah kembali dengan cinta dan kasih sayang. Begitu juga dengan Bimo, ia telah menemukan kasih sayang seorang ibu dari Cantik, perempuan cantik yang selalu ia panggil “Ibu”.
Dalam novel ini , pembaca akan dibawa ke dalam kehidupan di perkampungan kumuh terutama pada anak – anak yang merindukan kasih sayang orang yang dicintainya dengan segala perilaku anehnya yang membuat penasaran orang – orang disekitarnya. Selain itu religiusitas yang teramat kental menyalimuti keseharian mereka.
Rindu, gadis bisu yang suka melukis itu sempat hidup sebatangkara. Sejak perpisahannya dengan kakaknya 4 tahun lalu, akibat penggusuran di pemukiman kumuh. Namun, beruntung ada Bu Imah, seorang pedagang pasar yang memungutnya sebagai anak angkat.
Suatu ketika ia bersikap aneh, Rindu melukis masjid hingga sebulanan ia belum – belum juga melukis kubahnya walaupun sampai ibu angkatnya dan tetangganya mengajarinya menggambar kubah masjid. Sementara itu masjid yang belum diberi kubah di kompleks rumahnya juga sedang direncanakan renovasi namun belum kelar juga. Dalam hatinya, Rindu berharap Lanang akan datang membawakan kubah untuk masjid tersebut, namun orang – orang tidak tahu tentang hal tersebut.
Hingga suatu ketika, ia terinspirasi film yang dilihatnya dan ia pun menirukannya. Membeli merpati untuk mengirimkan lukisan dan pesan untuk kakak yang dirindukannya. Ibu angkatnya yang membuka gulungan kertas di kaki merpati itu, tertegun dan sedih membacanya. Beliau baru mengerti alasan sikap anehnya akhir – akhir ini.
Sementara itu, di kompleks pasar itu ada seorang gadis bernama Asih. Ia hanya tinggal bersama ayahnya. Ibu Asih meninggalkan keluarganya sudah sekian lama karena tidak tahan dengan kebiasaan suaminya yang suka berjudi dan bermain kasar. Namun, saat ini ayahnya telah bertaubat dengan mengabdi di masjid di kompleksnya.
Sama halnya dengan Rindu, Asih juga bersikap aneh. Ia tidak mau melepas sajadah tuanya. Ayahnya yang membelikan sajadah baru pun ditolaknya, pernah dijual sajadahnya oleh ayahnya dicarinya juga ke pasar sampai mengikuti orang yang membelinya. Ia bersikeras tetap memiliki sajadah tersebut karena ia berpikir bahwa dengan sajadah tersebut ia bisa bertemu dengan ibunya.
Selain itu, ada kisah dari Bimo. Seorang anak yang tinggal bersama kakaknya. Orang tuanya sudah meninggal lama. Ia sangat merindukan kasih sayang dari Ibunya. Hingga ada Mbak Cantik ngekos di deket rumahnya, ia sering main ke tempatnya. Apalagi Bimo senang sekali jika disuruh membuatkan mie yang dikasih telur. Berawal dari itu, Bimo selalu membawa telur jika mau pergi kemana saja. Oleh karena ia sangat sayang dengan Mbak Cantik Bimo memanggilnya dengan sebutan “Ibu”. Namun, sempat Mbak Cantik tidak mau dipanggil Ibu dan mengusir Bimo dari rumahnya. Bimo pun ngambek seharian di rumah.
Akhir cerita dari novel ini, Rindu tak melukis lagi masjid tanpa kubah, karena kakaknya telah kembali dengan kubah indah. Sedang Asih tidak bertingkah aneh lagi dengan sajadah tuanya karena ibu yang dirindukannya telah kembali dengan cinta dan kasih sayang. Begitu juga dengan Bimo, ia telah menemukan kasih sayang seorang ibu dari Cantik, perempuan cantik yang selalu ia panggil “Ibu”.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 813 NUG r |
Penerbit | Nastiti : Jakarta., 2004 |
Deskripsi Fisik | 163 hlm.; 18 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-3627-30-1 |
Klasifikasi | 813 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Fiksi |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Carin Mugroho, Islah Gusmian |
Tidak tersedia versi lain