Detail Cantuman
Text
Politik Kesetaraan: Dimensi-dimensi Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan
1025067101 | 322.1 BIE p C-1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1025068102 | 322.1 BIE p C-2 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1025069103 | 322.1 BIE p C-3 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Hilang |
1025070104 | 322.1 BIE p C-4 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Hak untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (disingkat KBB) adalah salah satu hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Negara-negara di dunia telah menyatakan komitmen mereka untuk menghargai, melindungi dan mempromosikan hak ini, bersama dengan hak-hak asasi yang lain. Namun, kita tahu, kenyataan sering berbeda secara dramatis dari norma-norma baku.
Di seluruh wilayah dunia, banyak orang yang hak untuk kebebasan beragama atau berkeyakinannya dilanggar. Kelompok-kelompok minoritas menghadapi kesulitan yang amat besar ketika ingin mendirikan rumah ibadah; komunitas yang tak memiliki pengakuan resmi kerap hidup dalam ketidakpastian hukum, yang membuat mereka rentan terhadap tekanan atau intimidasi; anak-anak kelompok minoritas dapat mengalami indoktrinasi di sekolah; komunitas-komunitas adat hidup dalam kekhawatiran akan kehilangan warisan spiritual mereka; orang-orang yang berpindah agama atau kritis terhadap agamanya berisiko dituduh melakukan “penodaan agama” atau murtad yang berimplikasi serius, bahkan di beberapa negara bisa berakhir dengan hukuman mati. Kita juga tidak boleh lupa banyak perempuan mengalami pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan berbarengan dengan diskriminasi atas dasar gender, misalnya dalam konteks hukum keluarga berdasarkan agama yang dipaksakan oleh negara.
Selain persoalan pelanggaran, kebebasan beragama atau berkeyakinan juga kerap disalahpahami pada tingkat konseptual. Beberapa negara dengan keliru mengaitkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan agenda anti-penodaan agama yang sangat membatasi, dan dengan demikian mengingkari kebebasan seseorang untuk memiliki pandangan keagamaan berbeda. Ada juga negara-negara lain yang melemahkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan secara keliru menyamakannya dengan kebijakan toleransi terbatas, sehingga mengaburkan perbedaan konseptual antara ide lama mengenai toleransi dan penghormatan berbasis hak yang didasarkan pada kesetaraan. Ada juga yang membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan secara berlebihan dengan meminggirkan keberagamaan pada ruang privat, sembari mengorbankan manifestasi publiknya.
Kesalahpahaman lain muncul dari pencampuradukan kerukunan antaragama dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Benar bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan melembagakan penghargaan pada martabat semua orang, dan dengan itu, bersama dengan hak-hak asasi lain, dapat meneguhkan perdamaian atau kerukunan. Namun demikian, perdamaian yang dihasilkan oleh hak untuk kebebasan pasti akan lebih “bising”. Yaitu perdamaian yang menerima pandangan-pandangan yang bertentangan, pihak-pihak yang berseberangan, ketidaksepakatan, ekperimentasi intelektual, dan yang menantang status quo. Pengalaman telah menunjukkan bahwa kerukunan yang senyap bukanlah perdamaian sejati.
Ketika saya menunaikan mandat saya sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2010–2016), saya harus berhadapan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia, maupun kerancuan konseptual mengenainya. Saya menulis laporan mengenai negara-negara yang biasanya terfokus pada isu-isu praktis. Di samping itu, dalam setahun saya menulis dua laporan tematik, yang sebagian besarnya saya dedikasikan pada menjernihkan kerumitan konseptual kebebasan beragama atau berkeyakinan. Laporan-laporan yang dimuat di sini adalah jenis yang kedua.
Sebelum dan sesudah menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia dan ikut serta dalam diskusi dengan masyarakat sipil, baik dari komunitas agama maupun bukan. Saya amat terkesan bukan hanya dengan keramahtamahan orang Indonesia yang sudah masyhur, tapi juga dengan iklim diskusi yang terus terang dan terbuka. Pada saat yang sama, banyak dari mitra diskusi saya bersepakat bahwa, mempertimbangkan besarnya dan beragamnya Indonesia, implementasi kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menjadi tantangan.
Saya ingin menutup pengantar ini dengan menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua yang membantu terbitnya buku ini. Saya berharap dapat selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang berdedikasi memajukan kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Di seluruh wilayah dunia, banyak orang yang hak untuk kebebasan beragama atau berkeyakinannya dilanggar. Kelompok-kelompok minoritas menghadapi kesulitan yang amat besar ketika ingin mendirikan rumah ibadah; komunitas yang tak memiliki pengakuan resmi kerap hidup dalam ketidakpastian hukum, yang membuat mereka rentan terhadap tekanan atau intimidasi; anak-anak kelompok minoritas dapat mengalami indoktrinasi di sekolah; komunitas-komunitas adat hidup dalam kekhawatiran akan kehilangan warisan spiritual mereka; orang-orang yang berpindah agama atau kritis terhadap agamanya berisiko dituduh melakukan “penodaan agama” atau murtad yang berimplikasi serius, bahkan di beberapa negara bisa berakhir dengan hukuman mati. Kita juga tidak boleh lupa banyak perempuan mengalami pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan berbarengan dengan diskriminasi atas dasar gender, misalnya dalam konteks hukum keluarga berdasarkan agama yang dipaksakan oleh negara.
Selain persoalan pelanggaran, kebebasan beragama atau berkeyakinan juga kerap disalahpahami pada tingkat konseptual. Beberapa negara dengan keliru mengaitkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan agenda anti-penodaan agama yang sangat membatasi, dan dengan demikian mengingkari kebebasan seseorang untuk memiliki pandangan keagamaan berbeda. Ada juga negara-negara lain yang melemahkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan secara keliru menyamakannya dengan kebijakan toleransi terbatas, sehingga mengaburkan perbedaan konseptual antara ide lama mengenai toleransi dan penghormatan berbasis hak yang didasarkan pada kesetaraan. Ada juga yang membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan secara berlebihan dengan meminggirkan keberagamaan pada ruang privat, sembari mengorbankan manifestasi publiknya.
Kesalahpahaman lain muncul dari pencampuradukan kerukunan antaragama dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Benar bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan melembagakan penghargaan pada martabat semua orang, dan dengan itu, bersama dengan hak-hak asasi lain, dapat meneguhkan perdamaian atau kerukunan. Namun demikian, perdamaian yang dihasilkan oleh hak untuk kebebasan pasti akan lebih “bising”. Yaitu perdamaian yang menerima pandangan-pandangan yang bertentangan, pihak-pihak yang berseberangan, ketidaksepakatan, ekperimentasi intelektual, dan yang menantang status quo. Pengalaman telah menunjukkan bahwa kerukunan yang senyap bukanlah perdamaian sejati.
Ketika saya menunaikan mandat saya sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2010–2016), saya harus berhadapan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia, maupun kerancuan konseptual mengenainya. Saya menulis laporan mengenai negara-negara yang biasanya terfokus pada isu-isu praktis. Di samping itu, dalam setahun saya menulis dua laporan tematik, yang sebagian besarnya saya dedikasikan pada menjernihkan kerumitan konseptual kebebasan beragama atau berkeyakinan. Laporan-laporan yang dimuat di sini adalah jenis yang kedua.
Sebelum dan sesudah menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia dan ikut serta dalam diskusi dengan masyarakat sipil, baik dari komunitas agama maupun bukan. Saya amat terkesan bukan hanya dengan keramahtamahan orang Indonesia yang sudah masyhur, tapi juga dengan iklim diskusi yang terus terang dan terbuka. Pada saat yang sama, banyak dari mitra diskusi saya bersepakat bahwa, mempertimbangkan besarnya dan beragamnya Indonesia, implementasi kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menjadi tantangan.
Saya ingin menutup pengantar ini dengan menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua yang membantu terbitnya buku ini. Saya berharap dapat selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang berdedikasi memajukan kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 322.1 BIE p |
Penerbit | Mizan Pustaka : Bandung., 2019 |
Deskripsi Fisik | xvii + 342 hlm.; 23,5 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-602-441-121-3 |
Klasifikasi | 322.1 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Politik Agama |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Heiner Bielefeldt |
Tidak tersedia versi lain