Detail Cantuman

Image of Bagaimana Demokrasi Mati: Apa Yang Diungkapkan Sejarah Tentang Masa Depan Kita

Text

Bagaimana Demokrasi Mati: Apa Yang Diungkapkan Sejarah Tentang Masa Depan Kita


1025950101321.8 LEV b C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan
1025951102321.8 LEV b C-2PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1025952103321.8 LEV b C-3PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1025953104321.8 LEV b C-4PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
Apa sebenarnya arti dari "Demokrasi"? Menurut wikipedia, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi---baik secara langsung atau melalui perwakilan---dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Bagi saya sendiri demokrasi adalah hak kita sebagai warga negara untuk ikut menentukan dan mengawasi pemerintahan yang diamanatkan pada lembaga-lembaga pemerintahan dan Presiden. Namun, bagaimana jika demokrasi mati secara perlahan-lahan. Buku ini menyoroti itu melalui perspektif sejarah pemerintahan Amerika Serikat. Akan tetapi tidak hanya membahas perpolitikan Amerika Serikat, di buku ini pun terdapat beberapa negara demokrasi yang turut disorot, seperti Peru, Turki, Venezuela, dan masih banyak lagi. Levitsky dan Ziblatt membahas bagaimana sebuah negara demokrasi bisa berubah menjadi otoritarianisme jika gerbang penjaga demokrasi tidak berfungsi dengan baik.

Bagaimana Demokrasi Mati terbagi menjadi sembilan bagian, yaitu; Persekutuan Penentu Nasib; Menjaga Gerbang Demokrasi di Amerika; Pelepasan Kekuasaan Partai Republik; Menumbangkan Demokrasi; Pagar Demokrasi; Aturan-Aturan Tak Tertulis Politik Amerika; Buyar; Tahun Pertama Trump: Rapor Otoriter; dan Menyelamatkan Demokrasi. Sebagai orang yang tidak tertarik pada politik dan awam akan dunia politik, buku ini memberikan penjelasan yang mudah dipahami. Meskipun tak semua sejarah perpolitikan bisa saya serap, tapi ada beberapa penjelasan terutama tentang pergeseran sebuah negara demokrasi menuju otoritarianisme yang dipimpin oleh seorang demagog. Contoh-contoh kasusnya sangat beragam dan tidak hanya berfokus pada Amerika Serikat saja. Melalui beberapa contoh kasus tersebut kita bisa mendapatkan inti yang ingin coba disampaikan oleh buku ini. Bagaiamana sebuah negara demokrasi ternyata dapat berubah menjadi otoritarianisme jika pagar demokrasi mulai goyah.

Kemenangan Donald Trump pada pemilu 2016 sangat mengejutkan bagi seluruh dunia, khusunya warga negara Amerika Serikat. Sosok Trump yang dikenal kurang begitu baik ternyata dapat menembus gerbang demokrasi Amerika Serikat. Trump sendiri memiliki ciri-ciri seorang demagog yang amat kuat. Pertama, penolakan (atau komitmen lemah) terhadap aturan main demokratis: Trump menuduh jika ia telah dicurangi saat pemilu tanpa ada bukti yang nyata. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik: Trump kerap kali menyerang Hillary Clinton dengan menyebutnya tidak layak mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat dan menjelek-jelekan rekam jejaknya. Ketiga, toleransi atau anjuran kekerasan: Trump pernah mendukung para pendukungnya untuk melakukan kekerasan pada saat kampanye. Dan keempat, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media: Trump sendiri sempat ingin memperkuatUU pencemaran nama baik setelah dirinya diserang oleh beberapa media Amerika Serikat. Keempat ciri ini mengindikasikan jika Donald Trump dapat membahayakan demokrasi di Amerika Serikat.

Ada dua norma tak tertulis yang selama ini selalu dipegang erat oleh pemerintahan Amerika Serikat agar dapat menjaga demokrasi, yaitu saling toleransi dan menahan diri. Di sini Presiden harus saling toleransi dan menghargai dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Satu sama lain saling membutuhkan dan harus saling mendukung. Mungkin ada beberapa keputusan dan tujuan yang tidak sejalan, tapi dengan toleransi nilai-nilai demokrasi tetap dapat dipertahankan. Selanjutnya Presiden dan lembaga-lembaga pemerintahan pun harus saling menahan diri. Maksudnya adalah tidak sewenang-wenang mempergunakan hak mereka dalam pemerintahan. Mereka harus menahan diri agar tidak melukai nilai demokrasi yang sudah ada. Contohnya seperti tidak mencalonkan diri kembali menjadi presiden sesudah dua kali masa jabatan. Memang pada dasarnya tidak ada aturan tertulis yang melarang mencalonkan diri sebagai presiden hingga tiga kali masa jabatan. Namun, jika melanggar dan tidak menahan diri kekuatan demokrasi akan kembali diuji. Kedua norma ini yang menjadi pagar demokrasi Amerika Serikat selama ini. Namun, dengan hadirnya Trump sebagai presiden demokrasi di Amerika Serikat patut dipertanyakan.

Secara keseluruhan Bagaimana Demokrasi Mati adalah sebuah pelajaran yang dapat diungkapkan sejarah tentang demokrasi yang mulai mati secara perlahan-lahan. Kemunculan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat seakan menjadi alarm jika pagar demokrasi mulai goyah. Melalui buku ini Levitsky dan Ziblatt menunjukkan fakta yang ada tentang demokrasi yang ternyata dapat bergeser ke otoritarianisme jika demagog berhasil menjadi presiden. Tidak melulu tentang Amerika Serikat buku ini membahas pula tentang beberepa negara yang mengalami krisis demokrasi. Contoh yang paling menarik bagi saya adalah bagaiaman Alberto Fujimori yang pada awalnya tidak diperhitungkan secara tiba-tiba dapat merubah Peru menjadi negara otoritarianisme. Mungkin matinya demokrasi tidak akan tampak secara langsung, tapi terselubung dan perlahan-lahan. Bagaiamana hak rakyat untuk berpendapat dan memberikan kritik dapat dibungkam. Membaca buku ini memberikan perspektif baru bahwa menjaga demokrasi bukan hanya tugas rakyat, tapi presiden dan lembaga-lembaga pemerintahan memiliki andil yang besar di dalamnya.
Judul Seri -
No. Panggil 321.8 LEV b
Penerbit Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.,
Deskripsi Fisik xv + 272 hlm.; 23 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 9786020385044
Klasifikasi 321.8
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-4
Subyek Demokrasi
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain