Detail Cantuman

Image of Masyarakat Adat: Pengakuan Kembali, Identitas & Keindonesiaan

Text

Masyarakat Adat: Pengakuan Kembali, Identitas & Keindonesiaan


1028142101261 MAS m C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1028143102261 MAS m C-2PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1028144103261 MAS m C-3PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1028145104261 MAS m C-4PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
Buku terbitan BPK Gunung Mulia ini merupakan hasil dari pelaksanaan Seminar Agama-Agama (SAA) ke-33 oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada bulan Maret 2018 di Parapat, Sumatera Utara. Karya ini berisikan pokok-pokok pikiran dari 16 orang narasumber yang menulis 12 judul tulisan di dalamnya. Tulisan-tulisan tersebut membahas berbagai hal seputar pergulatan masyarakat adat (MA) atau agama suku seperti posisi gereja dan MA, advokasi MA, regulasi negara dan MA, reclaiming identitas MA, diskriminasi MA, hingga perjalanan historis agama-agama dan teologi kristen dalam kaitannya dengan MA. Terdapat juga studi-studi mengenai beberapa MA seperti desa adat Pakraman di Bali, kepercayaan Marapu di Sumba, Parmalim di Sumatera, dan Kaharingan di Kalimantan.

Buku ini secara cukup komprehensif menggambarkan pergulatan masyarakat adat di Indonesia ketika diperhadapkan dengan sikap diskriminatif dari masyarakat bahkan negara. Serangkaian advokasi yang dilakukan tentu saja membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk gereja. Dalam hal ini, PGI mengambil inisiatif dengan mengangkat tema Masyarakat Adat dalam SAA ke-33. Inisiasi ini berangkat dari kesadaran bahwa MA belum begitu dikenali dengan jelas oleh gereja sebagaimana tampak dalam dokumen resmi gereja. Hal ini tidak lepas dari pergumulan teologis gereja mengenai Injil dan adat yang hubungannya lebih tampak hierarkis daripada dialogis. Tentu persoalan MA yang perlu digumuli oleh gereja bukan hanya pada tataran teologis namun juga sosio-politis. Dengan demikian aksi gereja tidak bisa hanya pada ranah diskursus melainkan juga perlu sampai pada advokasi.

Perhatian terhadap MA sangat penting mengingat masifnya diskriminasi dan penindasan yang terjadi kepada mereka sejak era kolonial di mana misionaris menganggap MA sebagai yang sesat. Di era pasca-kolonial, diskriminasi dan penindasan tersebut tentu didalangi oleh beberapa pihak dengan tujuan dan kepentingan pribadi/golongan tertentu, mulai dari kepentingan kapital ekonomi seperti penerobosan hutan adat hingga kepentingan politik (agama) mulai dari aras nasional hingga tingkat lokal. Dalam iringan waktu yang begitu panjang, proses-proses kepentingan ini mulai mempengaruhi masyarakat. Narasi dan aksi para elite lambat laun membentuk stigma masyarakat terhadap MA. Proses-proses ini bahkan menerobos ke regulasi negara. Trisno S. Sutanto memaparkan secara singkat proses-proses tersebut dan hasil-hasilnya berupa berbagai peraturan diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan atau MA. Mulai dari Instruksi Menag No.4 tahun 1978 yang menegaskan bahwa “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama” hingga surat mendagri 14 Maret 2006 kepada Gubernur Jawa Tengah yang menyatakan bahwa perkawinan masyarakat di luar 6 agama resmi negara belum dapat dicatatkan kecuali bersedia untuk tunduk pada salah satu agama berdasarkan UU No.1/PNPS/1965. Paling tidak ada 12 peraturan diskriminatif yang dipaparkan Sutanto dan ini menunjukkan betapa terstruktur dan sistematisnya diskriminasi terhadap MA tersebut.

Menghadapi hal-hal semacam ini, ada berbagai respons yang dilakukan oleh MA. Desa Pakraman Bali misalnya melakukan gerakan politik identitas Ajeg Bali dan membentuk majelis desa dari tingkat kecamatan hingga provinsi untuk menghadapi ancaman terhadap identitas dan eksistensinya. Sementara itu, masyarakat Parmalim memiliki pola resistensi yang terbentuk dalam diri dan karakter. Pola resistensi mereka adalah kekukuhan sikap batin psikologis. Mereka berusaha bertahan di tengah tekanan psikologis di mana mereka dianggap penyembah setan (sipele begu). Keturunan Parmalim sebagian tidak dapat bertahan, namun masih ada yang bertahan walaupun sedikit.

Proses advokasi dan perjuangan untuk pengakuan kembali terhadap MA terus dilakukan oleh berbagai pihak dan salah satu hasilnya yang terbaru adalah putusan MK pada tahun 2017 yang memungkinkan penganut kepercayaan mencantumkan kepercayaan/agama mereka di KTP. Sebelumnya MA hanya diperbolehkan mengosongkan kolom agama mereka dan kebanyakan dari mereka memilih untuk mengisikan salah satu dari 6 agama resmi negara agar tidak dipersulit dalam urusan-urusan administratif kependudukan. Oleh karena itu, putusan MK ini diakui sebagai progres yang cukup penting dalam pergulatan MA di Indonesia, namun ada banyak hal penting lainnya yang perlu diperjuangkan sebagai kelanjutan dari putusan ini, misalnya persoalan pendidikan agama untuk MA.

Dua bab terakhir dari buku ini berisikan kajian mengenai agama dan pendefinisiannya yang tidak jelas dalam peraturan di Indonesia namun eksklusif bagi agama/kepercayaan lain di luar 6 agama resmi negara. Kajian ini sekaligus merekonstruksi konsep agama dalam kaitannya dengan kemanusiaan, Allah dan kebaikan. Setelah itu ada tulisan mengenai Teologi Interkultural Nusantara yang mesti menjadi pergumulan rangkap dua kristiani bersamaan dengan teologi kontekstual. Buku ini kemudian ditutup dengan rekomendasi kepada negara untuk menindaklanjuti putusan MK, pengajuan RUU Masyarakat Hukum Adat, dan pembentukan badan khusus untuk penyelesaian konflik yang menyangkut hak ulayat. Kemudian rekomendasi untuk gereja adalah PGI didorong untuk menerbitkan pesan pastoral kepada gereja-gereja anggota tentang penerimaan dan penghormatan MA, mengembangkan keterbukaan teologis dan membangun dialog serta aksi nyata untuk penguatan masyarakat adat termasuk perumusan kesepakatan dan sikap terhadapnya, serta PGI memelopori penulisan narasi dan kesadaran bersama soal relasi gereja dan MA. PGI juga akan melakukan 4 rencana tindak lanjut yaitu lobi kepada DPR, lembaga-lembaga keumatan dan masyarakat sipil untuk percepatan pengesahan RUU MA, sosialisasi kepada sinode-sinode, pelatihan etnografis kepada gereja-gereja, dan melakukan FGD lintas budaya dan agama.

Buku ini sangat baik untuk dibaca tidak hanya oleh mereka yang tertarik pada isu masyarakat adat atau agama suku, tetapi juga seluruh masyarakat yang merupakan bagian daripada gereja dan negara. Hal ini karena pergulatan panjang agama suku atau MA merupakan tanggungjawab bersama seluruh elemen masyarakat demi kebhinekaan dan keindonesiaan itu sendiri. Kebhinekaan tidak dapat dirayakan dengan kepalan kebanggaan ditangan kanan dan kepalan diskriminasi/penindasan ditangan kiri. Buku ini cocok bagi siapa saja termasuk mereka yang baru saja ingin mendalami atau sekedar ingin mengetahui isu ini. Diskursus SAA ke-33 yang diselenggarakan PGI tentu mesti diteruskan pada diskursus yang lain dan ditindaklanjuti pada tataran praxis-reflektif. Bila rekomendasi-rekomendasi dan rencana PGI tersebut di atas benar-benar di-aksi-kan dengan serius, maka seperti Yesus yang datang dan memperluas cahaya Injil tidak hanya bagi orang Yahudi melainkan juga non-Yahudi, demikian juga gereja dapat membagikan terang Injilnya dalam rupa praxis nyata terhadap pergulatan masyarakat adat(bukan kristenisasi).

Judul Seri -
No. Panggil 261 MAS m
Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.,
Deskripsi Fisik xviii + 154 hlm.; 21 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 978-602-231-562-9
Klasifikasi 261
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-1
Subyek Teologi Religionum - Kepercayaan Lain
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain