Detail Cantuman
Text
Harus Bisa!: Seni Memimpin Ala SBY
1028322201 | 303.34 DJA h C-1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1028323202 | 303.34 DJA h C-2 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
1028324203 | 303.34 DJA h C-3 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
Sangat menarik. Buku yang merupakan kompilasi catatan harian Juru Bicara Kepresidenan untuk urusan luar negeri, Dr. Dino Patti Djalal ini, dapat memberikan sebuah wawasan baru mengenai karakter kepemimpinan SBY. Karena sang penulis termasuk lingkaran ‘orang dalam’ SBY, buku ini pun mampu membawa kita menyelami alur pemikiran dan gaya kepemimpinan SBY. Dino berhasil memaparkan gaya kepemimpinan SBY ini dengan tuturan yang ringan namun berbobot sesuai dengan apa yang ia lihat dan ia pelajari dari Pak Presiden.
Ada banyak hal menarik dari sosok presiden ke-6 Republik Indonesia ini yang sebelumnya mungkin tidak diketahui publik. Secara sistematis, dalam buku ini Dino membagi pengalaman dan pelajarannya dari sosok SBY dalam enam bagian besar yakni ‘Memimpin dalam Krisis’, ‘Memimpin dalam Perubahan’, ‘Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan’, ‘Memimpin Tim dan Membuat Keputusan’, ‘Memimpin di Pentas Dunia’, dan ‘Memimpin Diri Sendiri’. Masing-masing bagian ini berisi berbagai cerita yang sarat dengan pesan positif.
Dalam bagian ‘Memimpin dalam Krisis’, Dino memaparkan pengalaman dan pengamatannya atas respon SBY yang cepat tanggap dan real time dalam menghadapi berbagai permasalahan yang bersifat kritis. Sebagai contoh, SBY langsung bergerak cepat membuat konferensi pers internasional pada pk 02.15 WIB di Istana Negara begitu mendengar pesan penting bahwa ada dua wartawan Metro TV (Meutya Hafid dan Budianto) yang diculik oleh teroris Irak. SBY juga mampu membaca bencana Tsunami di Aceh sebagai peluang perdamaian dengan GAM.
Pada bagian ‘Memimpin dalam Perubahan’, SBY juga telah melakukan beberapa dobrakan dalam rangka mengefisienkan birokrasi Indonesia yang terkenal sangat rumit dan lama. Setelah SBY memberi perintah untuk mengifisienkan pelayanan birokrasi bagi para investor, waktu untuk memulai usaha pun menurun drastis dari 155 hari menjadi 59 hari di awal 2007. SBY juga senantiasa berpikiran positif, lebih memilih untuk merangkul seluruh lawan-lawan politiknya, taat sistem, dan terutama mampu mencari solusi masalah ketimbang beretorika.
Bagian ‘Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan’ memuat karakter SBY yang senang terjun ke daerah untuk mendengarkan keluhan rakyat secara langusng (common touch). Di samping itu, SBY tidak pernah tergiur oleh KKN dan ingin agar kantor presiden hemat, profesional, transparan, dan bersih (hlm 163). Dino mencatat sebuah pelajaran berharga ketika SBY lebih memilih datang sendiri ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan kasus pencemaran nama baiknya oleh Zaenal Ma’arif daripada memanggil polisi ke Istana. Kebesaran hati SBY ditunjukkan ketika beliau memaafkan Zaenal Ma’arif melalui sepucuk surat.
Dalam ‘Memimpin Tim dan Membuat Keputusan’, Dino memaparkan cara dan gaya kepemimpinan SBY yang lebbih memilih memilih sendiri setiap anggota timnya dan peka terhadap timing. Sebagai contoh, SBY lebih memilih untuk kembali ke Jakarta secepatnya ketika mendengar kabar kesehatan Soeharto yang makin memburuk daripada menyanggupi tawaran menyanyi dari Perdana Menteri Badawi. SBY juga memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang baik bertindak: teliti terhadap detil, obyektif, dan mampu mengambil keputusan di mana saja, kapan saja (a day of decisions).
Bagian ‘Memimpin di Pentas Dunia’ menjadi bagian yang sangat menarik karena Dino mampu memotret gaya kepemimpinan SBY yang bersifat nasionalis sekaligus internasionalis, dilengkapi dengan berbagai contoh yang menarik. Di bawah pemerintahan SBY, citra internasional Indonesia perlahan tapi pasti mulai meningkat seiring dengan peningkatan peran diplomasi RI yang makin aktif. RI sukses menjadi anggota DK Tidak Tetap PBB. RI juga berhasil menjadi tuan rumah UNFCCC di Bali dengan kesuksesan menghasilkan Bali Roadmap. SBY pun berhasil melahirkan inovasi diplomasi dengan mengeluarkan ide Global Inter-Media Dialogue (GIMD) yang mendapat respon sangat positif.
Pada bagian terakhir yang berjudul ‘Memimpin Diri Sendiri’, SBY memperlihatkan sosok pemimpin negara yang sangat berintegritas mulai dari hal-hal kecil seperti menghormati waktu. Dino bahkan menulis bahwa jika kita dijadwalkan bertemu presiden, sebaiknya kita tiba 30 menit sebelumnya karena beliau sudah akan siap di kantornya 15 menit sebelumnya. Waktu ini beliau gunakan untuk melihat CV tamu dan mendapat paparan mengenai isu yang akan dibahas dalam pertemuan (hlm 384).
Selama menjadi presiden, SBY juga tidak pernah berusaha ‘menjadi orang lain’ dan tidak mendewakan kekuasaan (yang antara lain dibuktikan dengan pelaporan kasus Zaenal Ma’arif ke Polda Metro Jaya sebagai warga negara biasa). Dino juga menilai SBY memiliki mental dan fisik yang tangguh sebagai seorang presiden. Ritme kerja SBY sangat cepat. Meski demikian, beliau tidak pernah tertidur saat duduk berjam-jam dalam situasi apapun.
Dengan demikian, buku ini kiranya dapat menjadi sebuah referensi yang sangat positif bagi siapapun apalagi bagi para calon pemimpin. Buku ini menjadi semakin menarik bukan saja karena ditulis dari sudut pandang ‘orang dalam’ presiden. Dino mampu memformulasi catatan hariannya menjadi fragmen-fragmen kisah menarik yang memungkinkan pembaca menarik sendiri pesan-pesan dari berbagai kisah kepemimpinan ala SBY.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa buku ini berhasil membawa nuansa dan wawasan baru dari buku-buku lain bertema serupa karena yang disorot adalah sosok langsung seorang presiden. Buku ini bukanlah buku teori tentang kepemimpinan melainkan buku yang secara langsung menggambarkan kepemimpinan SBY sebagai seorang presiden, sekaligus sebagai seorang manusia. Untuk itu, buku ini hendaknya dilihat secara objektif sebagai salah satu buku kepemimpinan yang menggemakan pesan-pesan positif bagi kemajuan Indonesia.
Ada banyak hal menarik dari sosok presiden ke-6 Republik Indonesia ini yang sebelumnya mungkin tidak diketahui publik. Secara sistematis, dalam buku ini Dino membagi pengalaman dan pelajarannya dari sosok SBY dalam enam bagian besar yakni ‘Memimpin dalam Krisis’, ‘Memimpin dalam Perubahan’, ‘Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan’, ‘Memimpin Tim dan Membuat Keputusan’, ‘Memimpin di Pentas Dunia’, dan ‘Memimpin Diri Sendiri’. Masing-masing bagian ini berisi berbagai cerita yang sarat dengan pesan positif.
Dalam bagian ‘Memimpin dalam Krisis’, Dino memaparkan pengalaman dan pengamatannya atas respon SBY yang cepat tanggap dan real time dalam menghadapi berbagai permasalahan yang bersifat kritis. Sebagai contoh, SBY langsung bergerak cepat membuat konferensi pers internasional pada pk 02.15 WIB di Istana Negara begitu mendengar pesan penting bahwa ada dua wartawan Metro TV (Meutya Hafid dan Budianto) yang diculik oleh teroris Irak. SBY juga mampu membaca bencana Tsunami di Aceh sebagai peluang perdamaian dengan GAM.
Pada bagian ‘Memimpin dalam Perubahan’, SBY juga telah melakukan beberapa dobrakan dalam rangka mengefisienkan birokrasi Indonesia yang terkenal sangat rumit dan lama. Setelah SBY memberi perintah untuk mengifisienkan pelayanan birokrasi bagi para investor, waktu untuk memulai usaha pun menurun drastis dari 155 hari menjadi 59 hari di awal 2007. SBY juga senantiasa berpikiran positif, lebih memilih untuk merangkul seluruh lawan-lawan politiknya, taat sistem, dan terutama mampu mencari solusi masalah ketimbang beretorika.
Bagian ‘Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan’ memuat karakter SBY yang senang terjun ke daerah untuk mendengarkan keluhan rakyat secara langusng (common touch). Di samping itu, SBY tidak pernah tergiur oleh KKN dan ingin agar kantor presiden hemat, profesional, transparan, dan bersih (hlm 163). Dino mencatat sebuah pelajaran berharga ketika SBY lebih memilih datang sendiri ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan kasus pencemaran nama baiknya oleh Zaenal Ma’arif daripada memanggil polisi ke Istana. Kebesaran hati SBY ditunjukkan ketika beliau memaafkan Zaenal Ma’arif melalui sepucuk surat.
Dalam ‘Memimpin Tim dan Membuat Keputusan’, Dino memaparkan cara dan gaya kepemimpinan SBY yang lebbih memilih memilih sendiri setiap anggota timnya dan peka terhadap timing. Sebagai contoh, SBY lebih memilih untuk kembali ke Jakarta secepatnya ketika mendengar kabar kesehatan Soeharto yang makin memburuk daripada menyanggupi tawaran menyanyi dari Perdana Menteri Badawi. SBY juga memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang baik bertindak: teliti terhadap detil, obyektif, dan mampu mengambil keputusan di mana saja, kapan saja (a day of decisions).
Bagian ‘Memimpin di Pentas Dunia’ menjadi bagian yang sangat menarik karena Dino mampu memotret gaya kepemimpinan SBY yang bersifat nasionalis sekaligus internasionalis, dilengkapi dengan berbagai contoh yang menarik. Di bawah pemerintahan SBY, citra internasional Indonesia perlahan tapi pasti mulai meningkat seiring dengan peningkatan peran diplomasi RI yang makin aktif. RI sukses menjadi anggota DK Tidak Tetap PBB. RI juga berhasil menjadi tuan rumah UNFCCC di Bali dengan kesuksesan menghasilkan Bali Roadmap. SBY pun berhasil melahirkan inovasi diplomasi dengan mengeluarkan ide Global Inter-Media Dialogue (GIMD) yang mendapat respon sangat positif.
Pada bagian terakhir yang berjudul ‘Memimpin Diri Sendiri’, SBY memperlihatkan sosok pemimpin negara yang sangat berintegritas mulai dari hal-hal kecil seperti menghormati waktu. Dino bahkan menulis bahwa jika kita dijadwalkan bertemu presiden, sebaiknya kita tiba 30 menit sebelumnya karena beliau sudah akan siap di kantornya 15 menit sebelumnya. Waktu ini beliau gunakan untuk melihat CV tamu dan mendapat paparan mengenai isu yang akan dibahas dalam pertemuan (hlm 384).
Selama menjadi presiden, SBY juga tidak pernah berusaha ‘menjadi orang lain’ dan tidak mendewakan kekuasaan (yang antara lain dibuktikan dengan pelaporan kasus Zaenal Ma’arif ke Polda Metro Jaya sebagai warga negara biasa). Dino juga menilai SBY memiliki mental dan fisik yang tangguh sebagai seorang presiden. Ritme kerja SBY sangat cepat. Meski demikian, beliau tidak pernah tertidur saat duduk berjam-jam dalam situasi apapun.
Dengan demikian, buku ini kiranya dapat menjadi sebuah referensi yang sangat positif bagi siapapun apalagi bagi para calon pemimpin. Buku ini menjadi semakin menarik bukan saja karena ditulis dari sudut pandang ‘orang dalam’ presiden. Dino mampu memformulasi catatan hariannya menjadi fragmen-fragmen kisah menarik yang memungkinkan pembaca menarik sendiri pesan-pesan dari berbagai kisah kepemimpinan ala SBY.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa buku ini berhasil membawa nuansa dan wawasan baru dari buku-buku lain bertema serupa karena yang disorot adalah sosok langsung seorang presiden. Buku ini bukanlah buku teori tentang kepemimpinan melainkan buku yang secara langsung menggambarkan kepemimpinan SBY sebagai seorang presiden, sekaligus sebagai seorang manusia. Untuk itu, buku ini hendaknya dilihat secara objektif sebagai salah satu buku kepemimpinan yang menggemakan pesan-pesan positif bagi kemajuan Indonesia.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 303.34 DJA h |
Penerbit | Red and White Publishing : Jakarta., 2008 |
Deskripsi Fisik | 434 hlm.; ils.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-1008-10-5 |
Klasifikasi | 303.34 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-3 |
Subyek | Kepemimpinan |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Dino Patti Djalal |
Tidak tersedia versi lain