Detail Cantuman
Text
Kitab Rajam
1029158101 | 811 WAN k C-1 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia |
“Aku tak tahu, bagaimana sebuah puisi disebut baik atau buruk. Bagus atau jelek. Aku tak tahu apa batas-batasnya. Aku juga tak terlalu peduli apakah aku mengerti isi sebuah puisi. Yang aku tahu, aku suka puisi ini. Dan tak suka puisi itu. Aku hanya membaca puisi, lalu membiarkan diriku terserap begitu saja. Dan, begitu saja pula aku menyukainya atau tidak.”
“Sayangnya, kau selalu ingin tahu mengapa aku menyukai satu puisi, dan tidak menyukai yang lain. Karena aku berusaha menjawab, maka logikaku bekerja. Menganalisa. Mempelajari di bawah mikroskop. Membuat hipotesa. Dan, akhirnya puisi itu terpisah dari diriklu. Kami tak lagi saling terpikat.”
Itulah sulitnya mengomentari sebuah puisi. Hal yang sama berlaku juga pada musik, cerpen, lukisan, film, dan buah seni lain. Tapi, biarlah kita terpisah sejenak dari apa yang kita rasakan. Masuk ke alam pikiran. Sekedar memberi kabar ini dan itu. Demi memuaskan intelek dan logika.
Saat menulis puisi spiritual (baca: Islam) kita akan terjatuh pada kalimat-kalimat penghambaan nan luhur. Kalimat penuh kerinduan, pengagungan sang Khalik sekaligus ketakutan sahaya. Atau, alternatifnya, menulis racau tentang apa-apa yang tak dimengerti orang lain. Seolah-olah hanya penyair yang tahu. Termasuk, memainkan trik hurup besar dan kecil di depan kata “aku”. Jika pembaca tak mengerti, maka itu karena sidang pembaca yang terhormat belum merasakannya.
Kumpulan puisi Amien Wangsitalaja berjudul “Kitab Rajam” ini memesona. Banyak puisi yang saya sukai pada bacaan pertama. Unik, memikat dan eksotik.
“Sayangnya, kau selalu ingin tahu mengapa aku menyukai satu puisi, dan tidak menyukai yang lain. Karena aku berusaha menjawab, maka logikaku bekerja. Menganalisa. Mempelajari di bawah mikroskop. Membuat hipotesa. Dan, akhirnya puisi itu terpisah dari diriklu. Kami tak lagi saling terpikat.”
Itulah sulitnya mengomentari sebuah puisi. Hal yang sama berlaku juga pada musik, cerpen, lukisan, film, dan buah seni lain. Tapi, biarlah kita terpisah sejenak dari apa yang kita rasakan. Masuk ke alam pikiran. Sekedar memberi kabar ini dan itu. Demi memuaskan intelek dan logika.
Saat menulis puisi spiritual (baca: Islam) kita akan terjatuh pada kalimat-kalimat penghambaan nan luhur. Kalimat penuh kerinduan, pengagungan sang Khalik sekaligus ketakutan sahaya. Atau, alternatifnya, menulis racau tentang apa-apa yang tak dimengerti orang lain. Seolah-olah hanya penyair yang tahu. Termasuk, memainkan trik hurup besar dan kecil di depan kata “aku”. Jika pembaca tak mengerti, maka itu karena sidang pembaca yang terhormat belum merasakannya.
Kumpulan puisi Amien Wangsitalaja berjudul “Kitab Rajam” ini memesona. Banyak puisi yang saya sukai pada bacaan pertama. Unik, memikat dan eksotik.
Judul Seri | - |
No. Panggil | 811 WAN k |
Penerbit | Indonesia Tera : Magelang., 2001 |
Deskripsi Fisik | xiv + 124 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 979-9375-24-X |
Klasifikasi | 811 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Puisi |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Amien Wangsitalaja |
Tidak tersedia versi lain