Detail Cantuman

Image of Kembalinya Si Anak Hilang: Membangun Sikap Kebapaan, Persaudaraan dan Keputraan

Text

Kembalinya Si Anak Hilang: Membangun Sikap Kebapaan, Persaudaraan dan Keputraan


1029401201248.5 NOU k C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1029402202248.5 NOU k C-2PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1029403203248.5 NOU k C-3PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
1029404204248.5 NOU k C-4PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
pa yang istimewa dari buku rohani ini? Lagi pula, bisa jadi aku bukan tipikal orang yang saleh-saleh amat, untuk apa aku perlu menggubris buku ini? Barangkali itulah pertanyaan-pertanyaan yang kita lontarkan ketika kita disodorkan sebuah buku rohani (lagi) seperti ini. Sebagai gambaran latar belakang, Henri Nouwen sesungguhnya tidak memulai perjalanan rohaninya di tengah puncak kekhusyukan doa atau ketenangan batin. Semuanya justru bermula sesudah ia memperoleh banyak tepuk tangan, berjumpaan dengan banyak orang, dan dianugerahi banyak penghargaan. Nouwen dilanda kesepian dan kelelahan, bahkan rasa marah dan kebingungan. Sesuatu yang dialami semua dari kita.

Ini adalah kisah tentang seorang bapa dengan dua anaknya. Dalam buku rohaninya ini, Nouwen berharap kita tidak hanya menemukan anak yang hilang, tapi juga bapa atau ibu yang penuh belas kasih dalam diri kita.

Anak Bungsu
Kisah ini bermula ketika anak yang bungsu memilih untuk pergi dari rumah. Kenapa ia harus meninggalkan rumah bapanya ketika segala sesuatunya telah disediakan baginya? Awal mulanya adalah ketika anak yang bungsu, kita juga, menjadi tuli akan suara cinta bapa dan kita mulai mencarinya di tempat di mana ia tidak dapat ditemukan. Dalam hidup di dunia ini, kita sering kali terperangkap oleh suara-suara menggoda yang membuat kita merasa harus membuktikan diri untuk menunjukkan bahwa diri kita berharga. Saat kita merasa gagal untuk menunjukkan kehebatan diri, kita jadi mudah mempertanyakan apakah diriku ini berharga, baik, dan layak dicintai. Sering kali kehidupan sosial kita yang terasa penuh tuntutan membentuk persepsi kita bahwa cinta dan penerimaan bukanlah sesuatu yang cuma-cuma dan tulus. Ia harus diraih dengan usaha keras membuktikan diri.

Kita kadang bertanya, “Kendati semua hal yang telah kuusahakan, kenapa masih ada orang yang menyakitiku, kenapa aku ditolak, kenapa aku tidak diperhatikan?” Lebih lanjut, kita bersungut-sungut atas keberhasilan orang lain, atas kesepian dan kegagalan yang kita rasakan, dan bagaimana dunia ini terasa begitu tidak adil. Kita berusaha meraih kepingan-kepingan cinta bersyarat yang ditawarkan dunia, tapi pada akhirnya kita jatuh dalam rangkaian usaha, kegagalan, dan ketidakpuasan baru. Bahkan jika seandainya kita berhasil mendapat sedikit cinta dan penerimaan itu, kita berusaha menggenggamnya erat dan lekat agar jangan sampai kehilangan.

Selain dalam hal relasi dengan sesama, ketersesatan kita juga dapat mewujud dalam sebuah kebiasaan buruk atau “pelarían” terus menerus dari kenyataan hidup dalam aneka bentuknya. Usaha untuk pulang bahkan bisa terasa lebih berat lagi jika kita memandang Tuhan, Sang Bapa, sebagai seorang hakim yang keras. Kita dapat percaya bahwa Tuhan akan menerima kepulangan kita, tapi di saat yang sama kita menjadi berpikiran bahwa Tuhan tidak lagi mencintai kita secara sama seperti sebelumnya.

Dalam kasus anak bungsu, Nouwen mengajak kita untuk kembali menjadi seorang anak (tapi bukan menjadi orang yang kekanak-kanakan). Maksudnya bukanlah untuk menjadi anak polos yang tidak tahu apa-apa seperti anak yang baru lahir, tetapi kepolosan yang dipilih secara sadar. Kepolosan untuk tidak membiarkan diri terpengaruh oleh suara-suara dunia yang menggoda kita untuk melakukan pembuktian diri.

Anak Sulung
Hilangnya anak yang bungsu nampaknya sangat jelas, ia seorang pemuda yang terhanyut dalam nafsu dan kerakusannya. Kita barang kali juga dapat dengan mudah menaruh simpati terhadap pemuda hilang yang malang itu. Di sisi lain, kepergian batin anak sulung dari rumah tersamar dibalik sikapnya yang baik, taat, dan tubuh fisiknya yang tidak pernah meninggalkan rumah. Meskipun demikian, dalam ketaatannya, anak sulung merasa tidak bahagia dan tidak bebas. Bukankah anak sulung juga seperti kita? Ada kemarahan di balik “hidup sempurna” yang berusaha kita jalani. Dalam usaha kita untuk menjalani hidup yang baik, tak jarang kita merasa iri pada mereka yang berani “tersesat”, berani menjadi “anak nakal” dan melakukan hal-hal bodoh. Dan, pada akhirnya mereka diterima kembali dengan penuh kasih secara cuma-cuma.

Kita sering mengeluh, “Aku telah berusaha keras, bekerja sedemikian lama, mengorbankan banyak hal, tapi kenapa orang tidak berterimakasih padaku, tidak jadi dekat denganku dan berteman denganku? Kenapa mereka lebih memberikan perhatian pada orang lain yang telah menyia-nyiakan hidup mereka sendiri?” “Aku harusnya layak diperlakukan lebih baik daripada ini,” itulah inti dari keluhan kita sebagai anak sulung, perasaan disalahpahami, ditolak, dan diabaikan. Keluhan ini menyedot energi dan kemampuan spontan kita untuk ikut bergembira bersama yang lain. Seperti anak sulung, kita menjadi curiga dan tidak mempercayai lagi cinta dan sukacita yang ditawarkan secara tulus dan cuma-cuma pada kita.

Dalam gambar di atas, tampak bahwa anak sulung berdiri berjarak. Jarak tersebut meninggalkan pertanyaan, apakah ia mengakui bahwa ia juga anak yang hilang, sama seperti adiknya? Sering kali, Tuhan dapat tampak begitu naif. Dalam cintaNya yang penuh belas kasihan, Sang Bapa berasumsi bahwa kita akan ikut serta dalam kebahagiaanNya menyambut kembali mereka yang hilang. Yang terjadi malahan kita semakin merasakan kepahitan dalam hati kita. Satu-satunya cara untuk membawa anak sulung pulang adalah melalui rasa syukur. Syukur adalah penawar bagi dendam dan kemarahan atas orang lain karena tidak memperoleh apa yang kurasa pantas aku dapatkan. Syukur adalah sebuah pilihan dan harus diambil dan dilatih dengan disiplin. Aku dapat memilih untuk bersyukur ketika aku dikritik, bahkan ketika hatiku masih menanggapi dengan kepahitan. Aku dapat memilih untuk mengampuni bahkan ketika aku masih merasakan dengki dan kebencian.

Sang Bapa
Kita sering kali berjuang menemukan Tuhan, beberapa dari kita mungkin telah banyak berdoa, banyak bertanya-tanya, berusaha menjalani hidup yang baik, bahkan ketika semuanya tidak terasa bertambah baik. Sering kali kitalah harus membiarkan diri ditemukan oleh Tuhan. Kisah ini adalah sebuah undangan dari Sang Bapa. Ia sungguh-sungguh memahami seluruh sisi gelap dan kejahatan dalam diri kita, tapi Ia mengundang kita untuk tidak disetir oleh kegelapan. Sukacita Bapa tidak perlu menunggu seluruh persoalan di dunia selesai. Hanya perlu sebuah langkah pertobatan kecil untuk membuat Tuhan turun dari singgasanaNya dan berlari menemui anakNya yang kembali.

Kisah ini tidaklah ingin mengatakan bahwa seorang anak baik dan yang lain buruk, ini adalah sebuah kisah tentang seorang bapa yang baik yang keluar menyabut kedua anaknya. Ia tidak memaksakan cintanya, kita selalu diberi ruang untuk memilih. Kendati demikian, cinta Tuhan tidak tergantung dari pertobatan kita, cintaNya independen terhadap tanggapan kita. Entah aku adalah anak bungsu atau anak sulung, Tuhan tetap ingin membawaku pulang. Ia tidak ingin menghukum anak-anaknya karena mereka sesungguhnya telah terhukum dalam pengalaman ketersesatan mereka. Fokus dari lukisan adalah tangan sang bapa. Tangan ini barangkali juga merupakan tangan-tangan yang telah kita alami selama ini, “tangan yang telah menimangku sebagai seorang bayi, yang memberiku makan, yang memberiku kehangatan. Tangan-tangan yang telah melambaikan selamat jalan dan yang menerimaku saat kukembali. Tangan yang melindungi dan menopangku saat kujatuh.” Itulah tangan-tangan Sang Bapa, orang tua kita, saudara-saudari, teman-teman, atau bahkan biasa jadi siapa pun.

Meskipun demikian, akhir dari cerita ini tergantung tergantung pada kita.

Sang Bapa adalah yang padaNya kita dapat pulang, menerima pengampunan, dan kedamaian. Akan tetapi, perjalanan rohani kita tidaklah akan lengkap sampai kita menyadari bahwa kita juga dipanggil untuk menjadi seorang bapa. Menjadi bapa bukanlah soal kekuasaan dan wewenang. Sang bapa tidaklah selalu figur penuh wibawa yang menunggu anak-anaknya datang memohon-mohon pengampunan padanya. Dalam hidup sehari-hari, menghayati peran sebagai sang bapa tidaklah sama dengan menjadi figur bijaksana tempat orang meminta nasihat dan solusi atas persoalan-persoalan mereka. Bisa jadi sang bapa sama rapuhnya dengan anak-anaknya sendiri.

Sang bapa dan ibu dalam diri kita bisa jadi bukan pribadi yang sempurna yang tidak pernah berbuat kesalahan dan punya jawaban atas semua persoalan kehidupan. Sang bapa dalam diri kita adalah pribadi yang telah mengalami kehilangan dan ketersesatannya sendiri, atau bahkan mungkin masih merasa tersesat beberapa kali. Tapi, ia berusaha terus untuk kembali ke rumah agar bisa menyambut mereka yang sedang berusaha pulang.

Anyway, apa sih yang sebenarnya rumah yang kita bicarakan ini? Bisa saja merupakan keluarga, komunitas, teman-teman, atau orang-orang yang kita jumpai setiap hari. Tapi tentu saja hidup bersama-sama tidak menyingkirkan begitu saja kegelapan yang ada. Hidup bersama malah justru dapat membuat kita lebih sadar akan sisi-sisi gelap diri kita: rasa iri, kemarahan, ketidakpuasan, nafsu, dan keserakahan. Hidup adalah medan perjuangan rohani yang sesungguhnya, yaitu untuk maju menuju terang kendati kegelapan terasa begitu nyata. Pulang ke rumah juga dapat berarti kembali pada relasi dengan Tuhan sendiri yang sering tidak kita sadari dan kembali merasakan bahwa diriku ini dicintai dan berharga.

Pada akhirnya, Nouwen meninggalkan sebuah pertanyaan bagi diri kita, “Dapatkan aku membiarkan anak sulung dan anak bungsu dalam diriku tumbuh menjadi seorang bapa yang murah hati?”
Judul Seri -
No. Panggil 248.5 NOU k
Penerbit Kanisius : Yogyakarta.,
Deskripsi Fisik 164 hlm.; 21 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 979-497-423-4
Klasifikasi 248.5
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-1
Subyek -
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain