Detail Cantuman

Image of Hail, Holy Queen: The Mother Of God In The Word Of God =  Salam, Ratu Surgawi: Bunda Allah Dalam Sabda Allah

Text

Hail, Holy Queen: The Mother Of God In The Word Of God = Salam, Ratu Surgawi: Bunda Allah Dalam Sabda Allah


1029642201232.91 HAH h C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia
Ketika Scott Hahn pelan-pelan mulai beralih ke iman Katolik, ajaran Gereja tentang Marialah yang paling sulit diterimanya. Tentu saja hal itu disebabkan oleh ajaran Gereja Protestan. Dalam ajaran Gereja Protestan hanya Allah yang berperan dalam karya keselamatan. Ajaran ini disebut solus Deus (hanya Allah). Manusia tidak punya peran di dalamnya. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa peran manusia pasif belaka. Dengan demikian Maria tidak punya tempat dalam karya keselamatan Allah tersebut. Akibatnya, devosi kepada Maria yang dilakukan oleh umat Katolik dilihat sebagai penyembahan berhala. Artinya, Maria yang adalah manusia (ciptaan) disembah sebagai yang ilahi. Orang-orang Protestan melihat bahwa dalam praktek devosi kepada Maria peran Yesus diambil alih oleh Maria.


Sebenarnya pada awal kemunculan Protestan tidak demikian adanya. Para reformator (Luther, Kalvin) semula masih menghormati Maria, bahkan menerima ajaran Gereja kuno tentang Maria (Bunda Allah, kesucian Maria). Penghormatan kepada Maria hilang pada umat Protestan, karena sikap anti-Katolik. Semangat anti-Katolik dikonkretkan dalam bentuk sikap anti-Maria.
Tidak mengherankan kalau Scott Hahn mencampakkan rosario neneknya yang diberikan kepadanya oleh ayahnya. Nenek Hahn adalah satu-satunya yang beriman Katolik di tengah-tengah keluarga Hahn.


Sebuah pengalaman pribadi Scott Hahn di masa remaja membantunya untuk sampai pada penghormatan pada Bunda Maria. Suatu hari ia sakit di sekolahnya. Ibunya ditelepon oleh guru untuk menjemputnya. Sebelum keluar dari ruang sakit di sekolahnya, ia mengatakan kepada ibunya agar ibunya berjalan lebih dulu. Ia tidak mau berjalan dituntun ibunya karena malu dianggap manja. Sesampai di rumah ia tidur nyenyak. Ketika ia telah bangun, ayahnya mendatanginya dan menanyakan keadaannya. Pada akhir percakapan ayahnya berkata, "Scottie, agamamu tidak berarti banyak kalau berhenti hanya pada kata-kata. Engkau harus memikirkan bagaimana engkau bersikap terhadap orang lain. Jangan pernah merasa malu dilihat orang bersama ibumu." Scott menjadi amat malu akan dirinya karena ia malu akan ibunya.


Walau begitu, ketika ia menjadi Katolik semula tetaplah sulit baginya untuk memberi penghormatan kepada Maria. Perubahan terjadi ketika pada suatu hari ia memutuskan untuk mengambil rosario dan mendoakannya dengan suatu ujud permohonan yang amat pribadi. Ia berdoa tiap hari. Doanya dikabulkan.


Dengan menulis buku tentang Maria Scott Hahn bertujuan untuk menyampaikan pengalaman batinnya akan Maria dan dasar-dasar alkitabiahnya. Ia berharap agar orang sadar akan pentingnya Maria atau melihat Maria dengan perspektif baru. Lebih daripada itu ia menginginkan agar orang-orang Katolik tidak malu akan penghormatan mereka pada Maria.
Hahn tidak mengisolasi Maria, melainkan menempatkannya dalam hubungannya dengan Allah. Hanya kalau kita mengerti Allah, kita dapat mengerti Maria dengan benar. Semua yang dilakukan Maria mengalir dari hubungannya dengan Allah dan karya penyelamatan ilahi-Nya. Artinya, Maria ditempatkan dalam karya penciptaan, manusia yang jatuh dalam dosa, penjelmaan dan penebusan.


Cara kedua yang ditempuh Hahn untuk memahami Maria dengan benar adalah menempatkannya dalam Alkitab. Dengan bersemangat ia mengatakan bahwa Maria memenuhi halaman-halaman Alkitab sejak awal buku pertama sampai dengan akhir buku terakhir. Ini hanya mungkin terjadi karena Hahn melihat bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saling menerangkan satu sama lain. Lebih tepat lagi boleh dikatakan bahwa Perjanjian Lama ditafsir secara kristologis. Dengan kata lain, mengikuti Paulus dan para bapa Gereja, Hahn mendekati Alkitab dengan metode tipologi. Tokoh-tokoh yang ada dalam Perjanjian Lama menjadi anti-tipos bagi tokoh-tokoh Perjanjian Baru. Misal, Adam adalah anti-tipos dari Yesus sehingga Yesus disebut sebagai Adam baru. Dan dalam kristologi semacam itu, Maria adalah Hawa yang sejati.


Awal Injil Yohanes menggemakan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Keduanya dimulai dengan "pada awal mula…." Pada keduanya dituturkan tentang terang (Kej 1:3-5; Yoh 1:4-5). Ditemukan juga Roh yang melayang-layang (Kej 1:2; Yoh 1:32-33). Setelah Yohanes menyebutkan "pada keesokan harinya …" sebanyak tiga kali (1:29, 35, 43), ia memulai kisahnya tentang pernikahan di Kana dengan "(P)ada hari ketiga ada perkawinan ...". Dengan demikian hari ketiga ini adalah hari ketujuh. Jadi, penciptaan baru pun berlangsung tujuh hari. Perkawinan yang terjadi pada hari ketujuh dari penciptaan ini pastilah sesuatu yang amat penting.


Pada pesta perkawinan tersebut Maria disapa oleh Putranya dengan sebutan "perempuan". Hal yang sama terjadi lagi ketika Yesus digantung di kayu salib. Sayang bahwa Alkitab Indonesia menerjemahkannya dengan „ibu". Hal ini mengingatkan kita akan Kitab Kejadian. „Perempuan" adalah nama yang diberikan Adam kepada Hawa (Kej 2:23). Dengan demikian yang hendak dikatakan oleh Yohanes ialah bahwa Maria adalah Hawa yang baru. Kalau Hawa adalah ibu dari segala yang hidup (Kej 3:20), maka Maria adalah ibu dari semua yang memperoleh hidup baru dalam pembaptisan. Itulah makna peristiwa Yesus menyerahkan Maria kepada murid yang dikasihi-Nya. Tetapi, kalau Hawalah yang menuntun Adam yang lama kepada dosa pertama di taman Eden, Hawa yang baru menuntun Adam Baru ke dalam karya mulia-Nya yang pertama (air menjadi anggur).


Hahn kemudian memperlihatkan bagaimana para bapa Gereja pada awal kekristenan seperti Yustinus, Ireneus, Tertulianus dan sebagainya, menyebut Maria sebagai Hawa baru. Baik penginjil Yohanes maupun para bapa Gereja ini menekankan pesan Hawa baru agar kita patuh pada Putranya: "Lakukanlah apa pun yang Ia katakan kepadamu!"
Yang dimaksud dengan tabut perjanjian adalah sebuah kotak yang berisi loh-loh batu sepuluh perintah Allah, manna dan tongkat imamat Harun. Kotak ini ditempatkan di dalam ruang yang mahakudus dalam Bait Allah. Sekitar tahun 587 tabut ini disembunyikan oleh Yeremia agar tidak dihancurkan oleh pasukan Babel yang datang menyerbu. Orang kemudian tidak tahu lagi di mana tempat penyembunyiannya. Menurut Yeremia, tempat itu harus tetap rahasia sampai Allah mengumpulkan kembali umat serta mengasihaninya lagi. Kelak semuanya itu akan ditunjukkah oleh Tuhan dan kemuliaan Tuhan serta awan akan tampak lagi (2 Mak 2:5-8). Bila dihitung dari zaman Yesus hidup, maka tabut tersebut telah hilang selama 6 abad.


Adalah sesuatu yang mengejutkan ketika Yohanes dalam Kitab Wahyu mencatat bahwa sesudah terdengar bunyi sangkakala tujuh kali, Yohanes melihat bait suci yang di surga terbuka dan di dalamnya tampak tabut perjanjian (Why 11:19). Kemudian Yohanes melanjutkan: "Dan tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya; ia sedang mengandung dan dalam keluhan serta penderitaan hendak melahirkan ia berteriak kesakitan" (Why 12:12). Hahn kemudian menyimpulkan bahwa perempuan itulah tabut perjanjian. Persoalannya sekarang adalah siapakah perempuan ini. Hahn menafsirkannya sebagai Maria. Tak pelak lagi kesimpulan berikut tak terhindarkan: "Kalau tabut pertama berisi Sabda Allah dalam bentuk batu, tubuh Maria mengandung Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia. Kalau tabut pertama berisi roti ajaib dari surga, tubuh Maria mengandung Sang Roti Kehidupan yang mengalahkan maut untuk selama-lamanya. Kalau tabut pertama berisi tongkat imam Harun, … tubuh Maria mengandung pribadi ilahi dari imam abadi, yakni Yesus Kristus."
Orang-orang Israel menantikan penyelamat yang mereka sebut Mesias, seorang raja yang diurapi oleh Allah. Mesias akan membebaskan mereka dari ketertindasan dan akan menegakkan sebuah kerajaan yang di dalamnya rakyat hidup dalam damai dan sejahtera.


Mesias ini haruslah berasal dari keturunan Daud. Silsilah yang dibuat oleh Matius di awal Injilnya mau mengatakan bahwa Yesuslah Mesias keturunan Daud yang diharap-harap itu.
Semula Israel tidak berbentuk kerajaan. Mereka memohon kepada Allah lewat Samuel agar diberi seorang raja. Dengan berat hati Allah mengabulkan permohonan ini. Tak pelak lagi tata pemerintahannya mengikuti tata pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Israel. Dalam kerajaan-kerajaan tersebut seorang raja mempunyai istri lebih dari satu. Tentu saja hal ini menimbulkan permasalahan. Siapa yang akan dihormati sebagai ratu? Anak siapa akan memiliki hak untuk mewarisi takhta kerajaan? Di Timur Tengah hal ini dipecahkan demikian: Perempuan yang dihormati sebagai ratu adalah ibunda sang raja, bukan salah satu istrinya. Di balik praktek ini ada unsur keadilan karena seringkali kekuasaan ibulah yang memenangkan takhta bagi putranya.


Hal yang sama terjadi pada Israel. Ketika Salomo memerintah, Batsyeba, ibunya, menjadi ratu (gebirah) Israel yang duduk di sebelah kanannya. Ibunda raja menjadi ratu terus berlangsung dalam kerajaan Israel sampai dengan Israel dibuang ke Babilonia. Ratu bukan sekadar suatu gelar, melainkan suatu jabatan dengan wewenang tertentu: "Maka, Batsyeba masuk menghadap Raja Salomo untuk berbicara kepadanya atas nama Adonia. Lalu bangkitlah raja menyambutnya serta tunduk menyembah kepadanya; kemudian duduklah raja di atas takhtanya dan ia menyuruh meletakkan kursi untuk bunda ratu, lalu perempuan itu duduk di sebelah kanan raja" (1Raj 2:19).


Dari satu pihak kelihatan jelas bahwa Salomo menghormati ibunya. Dari lain pihak, tetaplah Salomo yang memiliki kuasa: dialah yang duduk di takhta raja. Dari satu pihak, Salomo adalah atasan Batsyeba. Dari lain pihak, secara alami dan seturut tata krama tetaplah Salomo anaknya.
Batsyeba bertindak atas nama Adonia. Adonia sebelumnya berkata kepada Batsyeba, "Aku mohon, mintalah kepada Raja Salomo—ia tidak akan menolak Ibu." Batsyeba berbicara untuk membawa aspirasi rakyat (Adonia). Dan nasihat Ibunda tidak akan ditolak oleh Raja.
Yesuslah Mesias dari keturunan Daud yang diharap-harapkan. Mau tak mau kedatangan Yesus Kristus hanya dapat dipahami dengan mengacu kepada Daud: "Sebagaimana Daud membangun sebuah kota kudus di Yerusalem, demikianlah pengganti terakhirnya akan menciptakan Yerusalem surgawi. Sebagaimana pengganti pertama Daud memerintah di samping bunda ratu, demikianlah pengganti Daud yang terakhir dan abadi. Kerajaan Daud mencapai penggenapan sempurnanya dalam kerajaan Yesus Kristus—dan di sana tidak pernah ada raja keturunan Daud tanpa bunda ratu keturunan Daud, yakni ibu sang raja sendiri, sang bunda ratu."


Penjelasan ini memudahkan kita memahami episode perkawinan di Kana. Bunda Maria membawa aspirasi rakyat kepada Putranya dengan menceritakan masalah yang sedang terjadi. Yesus berbicara kepada Bunda-Nya sebagai atasan, tetapi Ia sangat menghormati nasihatnya. Selain itu, Bunda Maria tidak menyuruh orang-orang untuk menaati dirinya, tetapi agar mereka menaati Putranya.


Setelah bagian ini Scott Hahn berbicara tentang ajaran-ajaran Gereja tentang Maria yang dikandung tanpa noda, Maria sebagai Bunda Allah, Maria sebagai perawan dan Maria diangkat ke surga.


Seperti telah menjadi jelas dalam keterangan di atas, hubungan kita dengan Maria harus ditempatkan dalam konteks yang lebih mendasar, yakni hubungan kita dengan Allah. Bila dikatakan bahwa kita diselamatkan oleh Allah lewat peristiwa Yesus, maka memang itu berarti bahwa dosa-dosa kita diampuni. Walau begitu, hal tersebut tidak cukup. Diselamatkan berarti diangkat menjadi putra-putra Allah. Kita dijadikan saudara-saudara Kristus. Hal itu berarti bahwa apa yang dimiliki Kristus juga menjadi milik kita. Dengan demikian Maria pun adalah milik kita sebagai bunda kita. Sekarang kita pun boleh berkata bahwa persaudaraan tercipta di antara kita oleh kebundaan, karena kita memiliki bunda yang sama.


Lebih daripada itu sesudah Yesus memberikan ibu-Nya kepada kita, kita boleh yakin bahwa tidak ada sesuatu lagi yang tidak akan Ia berikan kepada kita. Hal itu dapat dipikirkan dengan menyebut Maria sebagai pengantara. Agar tidak keliru, kepengantaraan di sini hanya boleh dipahami berdasarkan konsep ratu sebagai bunda raja dan berdasarkan kejadian perkawinan di Kana seperti telah dijelaskan di atas. Yesus menjadi pengantara antara Allah Bapa dan anak-anak-Nya, sedangkan Maria menjadi pengantara sebagai bunda ratu dan pembela (Bdk. 1Raj 2:19). Sekarang ini Maria bersama para kudus berdoa demi kepentingan kita. Dari arah sebaliknya, kita pun menghormati Maria sebagai bunda kita.


Akhirnya, mengikuti Konsili Vatikan II (Lumen Gentium 53) Maria pun dilihat sebagai pola dasar hidup Gereja. Hal ini tentu menyangkut ketaatan Maria kepada Bapa (iman). Ketaatan Maria menjadi pola kehidupan Gereja. Lebih daripada itu, Maria yang telah mulia di surga pun menjadi pola hidup Gereja. Seperti Allah telah menarik Maria masuk ke dalam kemuliaan surgawi, demikian pula Gereja berjalan menuju persatuan sempurna dengan Allah.


Pada bagian akhir dari bukunya Scott Hahn menganjurkan para pembacanya untuk berdoa rosario. Ia tahu bahwa orang-orang bukan Katolik kadang-kadang menganggap rosario sebagai pengucapan rumus doa secara mekanis. Hahn menegaskan bahwa rosario bukanlah doa mekanis belaka. Sebaliknya rosario melibatkan seluruh diri kita. Indra berperan besar dalam doa rosario: kata-kata yang diucapkan (mulut), kata-kata yang didengar (telinga), sentuhan manik-manik (kulit jari), gambar-gambar devosional (mata).


Doa rosario pun sangat biblis. Bapa Kami adalah doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Pada doa Salam Maria ditemukan kata-kata malaikat Gabriel dan Elisabet. Doa Kemuliaan sesuai dengan perintah Yesus Kristus untuk membaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Sebagian orang pun berpikir bahwa doa formal itu jelek. Sebaliknya, hanya doa yang spontan dan emosionallah doa yang benar. Pada kenyataannya Yesus sendiri mengulang doa formal kuno dari Israel kuno. Ia berdoa: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" yang berarti Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" (Mrk 15:34; bdk. Mrk 22:2).


Lalu bagaimana dengan pengulangan dan rutinitas? Pengulangan dan rutinitas dapat sangat bermanfaat bagi kita dan hubungan kita dengan orang lain. Seorang istri tidak pernah jemu mendengar suaminya berkata, "Aku cinta padamu". Seseorang yang sering memberi, selalu senang mendengar kata "terima kasih". Setiap kali kita melakukan kesalahan kepada orang lain, kita mengucapkan kata „maaf". Begitu pula Allah tidak bosan mendengarkan doa yang sama yang kita ulang-ulang. Orang-orang bukan Katolik pun mengetahui ini. Mereka suka mengulang-ulang kata-kata „amin", „alleluya" dan „puji Tuhan".


Tradisi Gereja menghimpun kalimat-kalimat yang merangkum gagasan dan perasaan iman. Perasaan, dari baik mereka yang mendengarkan kata-kata itu maupun yang mengucapkannya, diterangi dan ditingkatkan. Semakin aku mengucapkan kepada istriku "Aku cinta padamu", semakin dalam perasaan cintaku. Begitulah! Semakin kita sering menyampaikan cinta kita kepada Bunda Maria lewat kata-kata, nyanyian, tangan, mulut, telinga, semakin dalam rasa cinta kita kepadanya. (Dr Laurensius Sutadi Pr)
Judul Seri -
No. Panggil 232.91 HAH h
Penerbit Dioma : Malang.,
Deskripsi Fisik 231 hlm.; 20,5 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 979-26-1335-8
Klasifikasi 232.91
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-2
Subyek Mariologi
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain