Detail Cantuman

No image available for this title

Text

Dimensi Ekokritik Dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang


3030787201SKRIPSI 4137PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan ekokritik sastra, (2) mendeskripsikan novel Burung Kayu dan biografi Niduparas Erlang, dan (3) mendeskripsikan dimensi ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Objek yang diteliti adalah dimensi ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang. Pendekatan penelitian objek ini adalah pendekatan wacana. Pendekatan wacana dalam ekokritik sastra menekankan penelitian kepustakaan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa sumber yang membahas ekokritik sastra berupa buku, jurnal, dan dalam internet. Sumber-sumber ini membantu penulis untuk membahas ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu. Teknik analisis isi digunakan untuk menemukan dimensi ekokritik sastra dalam novel Burung Kayu. Ada tiga langkah dalam menganalisis isi, yaitu (1) membaca novel Burung Kayu secara berulang-ulang, (2) meramu data dan mendalami teori yang berkaitan dengan tema penelitian, dan (3) mempelajari dan menganalisis data-data itu. Data-data itu berupa kata, frasa, atau kalimat dalam novel Burung Kayu. Berdasarkan analisis penulis ditemukan bahwa novel Burung Kayu memuat dimensi ekokritik sastra. Dimensi ekokritik sastra ditandai oleh dua ideologi, yaitu antroposentrisme dan ekosentrisme. Di dalam novel Burung Kayu, antroposentrisme tampak dalam usaha pemerintah Indonesia memodernkan masyarakat suku Mentawai. Pemerintah memaksa pindah masyarakat suku dari kediaman mereka di hutan-hutan ke tempat buatan pemerintah sendiri. Hutan merupakan tempat kelompok masyarakat ini menggantungkan hidup jasmani dan praktik-praktik kebudayaan. Namun, ada niat lain di balik penyingkiran masyarakat suku itu. Pemerintah menyerahkan konsesi hutan itu kepada perusahaan-perusahaan kayu. Korporasi-korporasi ini justru mengelola hutan secara tidak bertanggung jawab. Hutan digundulkan. Ini berakibat pada rusaknya ekosistem hutan dan terkoyaknya masyarakat suku Mentawai dari kebudayaan mereka. Di samping antroposentrisme ada ekosentrisme. Di dalam novel Burung Kayu, ekosentrisme tampak dalam diksi-diksi hijau yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan masyarakat suku Mentawai sebelum kebudayaan modern mengintervensi kehidupan mereka. Ekosentrisme dipromosikan ekokritik sastra untuk melawan antroposentrisme. Novel Burung Kayu menunjukkan keberpihakannya kepada lingkungan. Masyarakat suku Mentawai bersedia hidup secara modern, tetapi penggundulan hutan tidak dapat diterima. Sastra sebagai sebuah ilmu turut berkontribusi menyelesaikan masalah-masalah lingkungan. Ekokritik sastra menyediakan ruang bagi manusia untuk merefleksikan masalah-masalah lingkungan. Orientasi ekokritik sastra adalah mengubah cara manusia memikirkan dan memandang lingkungan, dari yang antroposentrik kepada yang ekosentrik.
Judul Seri -
No. Panggil SKRIPSI 4137
Penerbit : Ledalero-Maumere.,
Deskripsi Fisik xi + 87 hlm.; 21 cm x 30 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN -
Klasifikasi 4137
Tipe Isi text
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi -
Subyek Sastra
Ekokritik Sastra
Novel Burung Kayu
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain