Detail Cantuman
Text
Fenomena Perdagangan Manusia di Nusa Tenggara Timur dalam Perspektif Teori Hannah Arendt tentang Banalitas Kejahatan dan Pentingnya Berpikir Kritis
3030819201 | SKRIPSI 4149 | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
perdagangan manusia dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan. Dasarnya ialah memperdagangkan manusia merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena sesama manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek (manusia), tetapi sebagai objek komoditas atau objek eksploitasi dengan tujuan untuk mencari keuntungan pribadi ataupun kelompok. Di samping itu, maraknya masalah perdagangan manusia di NTT dewasa ini, merupakan dampak yang diterima dari cara pandang yang menjadikan manusia sebagai komoditi bisnis yang menguntungkan melalui sistem kerja yang terorganisir secara baik. Bahaya terjauh dari fenomena perdagangan manusia dewasa ini adalah kita menyaksikan sebuah masyarakat yang tidak kritis atau tidak mampu berpikir mandiri di hadapan sistem yang mereka ciptakan sendiri. Kedua, konsep Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan yang terjadi karena orang tidak memiliki kemampuan berpikir ketika berhadapan dengan kejahatan. Ketika kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang banal, maka individu merasa tindakannya tersebut sebagai hal yang biasa atau lazim dan tidak terarah kepada kejahatan, sekalipun tindakan itu sesungguhnya terarah kepada kejahatan. Inilah yang disebut banalitas kejahatan. Tindakan kejahatan menjadi banal hanya bisa dipahami dalam kondisi dunia yang tidak manusiawi, yang disebut oleh Arendt sebagai kondisi worldlessness, sebuah kondisi di mana orang dijadikan massa mengambang yang rentan untuk melakukan kejahatan yang banal ataupun menjadi korban atau sasaran kejahatan. Refleksi Arendt tentang banalitas kejahatan di atas menjadi kacamata berpikir bagi penulis dalam menganalisis fenomena perdagangan manusia di NTT. Ketiga, hemat penulis, kejahatan dalam bentuk perdagangan manusia di NTT juga dapat dikategorikan sebagai banalitas kejahatan. Fakta yang terjadi adalah banyak pihak kehilangan daya dan kemampuan untuk berpikir jernih yang datang dari sistem yang diciptakan pemerintah, sistem budaya yang masih dipertahankan dalam ruang lingkup masyarakat NTT sendiri, serta kondisi-kondisi lain seperti kemiskinan dan pengangguran yang turut mendukung maraknya masalah perdagangan manusia di NTT. Letak banalitas kejahatan dalam perdagangan manusia ialah ketika sesama manusia dieksploitasi secara ekonomis dan dimarginalkan secara sosial. Atau, manusia yang adalah mahkota ciptaan, makhluk yang berakal budi, berharkat, dan bermartabat serentak dibaptis menjadi barang dagangan oleh manusia lain atau aktor perdagangan global tanpa adanya rasa bersalah. Maka, untuk mengatasi banalitas kejahatan dalam bentuk perdagangan manusia di NTT, penulis mengusung kemampuan berpikir atau dialog batin sebagai solusi dalam mengatasi banalitas kejahatan perdagangan manusia. Kemampuan berpikir yang dimaksudkan ialah berpikir kritis, reflektif, dan representatif. Berpikir kritis berarti mengambil jarak dengan peristiwa yang dialami dan kemudian membuat penilaian secara tepat untuk menguji berbagai pandangan yang keliru dan tidak masuk akal. Berpikir reflektif berarti kembali ke dalam diri atau berdialog dengan diri sendiri dan kemudian berani mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan hati nurani. Sedangkan berpikir representatif berarti bisa membayangkan dan mengantisipasi akibat-akibat negatif dari sebuah tindakan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain terutama para korban.
Judul Seri | - |
No. Panggil | SKRIPSI 4149 |
Penerbit | : Ledalero-Maumere., 2022 |
Deskripsi Fisik | xv + 103 hlm.; 18,5 cm x 29 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | - |
Klasifikasi | 4149 |
Tipe Isi | text |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | - |
Subyek | Berpikir Kritis Perdagangan Manusia Perspektif Teori Hannah Arendt |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | Emanuel Tredoanus Mere |
Tidak tersedia versi lain