Detail Cantuman
Text
Hikayat Kerajaan Sikka
1032346201 | NTT 959.85986841 MAN h | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1032347202 | NTT 959.85986841 MAN h | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
1032348203 | NTT 959.85986841 MAN h | PERPUSTAKAAN KAMPUS 1 | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan |
Jawa memiliki Negara Kertagama yang ditulis pada Jaman Majapahit dan Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa Mataram Islam; ada juga Serat Centini yang merupakan ensiklopedi Jawa dari Surakarta. Sulawesi memiliki La Galigo, dan Tanah Melayu memiliki Sejarah Melayu. Meski agak terlambat, Sikka juga memiliki sebuah hikayat yang ditulis oleh dua putra Sikka. Hikayat Kerajaan Sikka ditulis oleh Alexius Boer Pareira dan Diminicus Dionitius Pareira Kondi. Boer dan Kondi menulis sejarah kerajaan Sikka atas permintaan Raja Sikka Thomas da Silva pada tahun 1925. Mereka berdua menulis secara terpisah, meski sering bertemu untuk mengetahui sejauh mana tugas dari Raja sudah dijalankan. Kita harus berterima kasih kepada kedua guru yang sudah bersusah payah menuliskan sejarah Sikka ini. Kita juga harus berterima kasih kepada Oscar Pariera Mandalangi dan E. D Lewis yang telah menterjemahkan kedua naskah tersebut, merangkainya menjadi sebuah karya yang mudah kita nikmati.
Sejarah Kerajaan Sikka dibagi menjadi tiga bagian, yaitu masa pemukiman (proto raja), masa menjadi kerajaan dan masa kerajaan modern. Masa awal dari Kerajaan Sikka adalah saat sebuah kapal yang dinakhodai oleh Rae Raja (dari Siam) mengalami karam dan akhirnya menetap di pantai. Anak dari Rae Raja menikah dengan putri kepala lima kampung (penduduk lokal). Putri tersebut bernama Du’a Sikka. Nama inilah yang kemudian menjadi nama suku dan Kerajaan Sikka. Pada era ini penduduk mulai berkembang dan pemukiman semakin besar. Aturan-aturan tentang pengelolaan lahan, perkawinan dan peribadatan mulai dibentuk.
Masa kedua adalah masa pemerintahan Mo’ang Bata Jati Jawa. Pada masa pemerintahan Mo’ang Bata Jati Jawa, Sikka mulai berbentuk kerajaan dan mulai berdagang dengan Bugis. Para pedagang Bugis ini mencari rempah-rempah (lada, kayu kuning dan kayu manis). Mo’ang Bata Jawa juga berdagang dengan Melayu dan Cina. Pada era ini juga dicatat gempa bumi yang sangat besar. Pada masa pemerintahan cucunya, yaitu Mo’ang Baga Ngang, wilayah Kerajaan Sikka menjadi semakin luas. Wilayah kerajaan sampai ke Flores Timur, berbatasan dengan Larantuka dan ke Flores Barat berbatasan dengan Manggarai.
Era ketiga Kerajaan Sikka (atau Sikka modern) adalah saat pemerintahan Don Alesu. Pada masa pemerintahan Don Alesu, Kerajaan Sikka berkenalan dengan Agama Katholik. Don Alesu yang mencari ‘tanah hidup’, karena melihat rakyatnya miskin dan banyak yang mati, bertemu dengan Raja Worilla di Malaka. Don Alesu berangkat dari Sikka bersama dengan anak dari Raja Worilla, Agustinu da Gama. Sejak pulang dari Malaka, Don Alesu dipanggil dengan sebutan Mo’ang Ratu Don Alesu dan Silva (da Silva adalah nama babtis yang dia dapat saat di Malaka). Mahkota dan asesoris raja yang dipakai di Kerajaan Sikka adalah pemberian dari Raja Melayu.
Buku ini juga secara khusus membahas tentang dua raja perempuan. Dua raja tersebut adalah Dona Ines (Agnes) da Silva dan Dona Maria da Silva. Dona Ines mengatur tata cara melamar anak gadis. Aturan tentang belis (mahar) dibuat agar anak gadis yang dinikahi tidak diperlakukan secara semena-mena.
Kisah raja-raja selanjutnya diisi dengan kisah perdagangan, pasang surut hubungan dengan kerajaan-kerajaan sekitar, khususnya Larantuka serta hubungan dengan Portugis dan Belanda. Buku ini juga mencatat beberapa pemberontakan yang terjadi di Sikka.
Selain membahas sejarah, buku ini memuat sastra tutur yang dikumpulkan oleh kedua penulis. Memang sumber utama dari buku ini adalah syair-syair yang masih dipelihara oleh para pemuka-pemuka orang Sikka dalam bentuk syair-syair.
Sejarah Kerajaan Sikka dibagi menjadi tiga bagian, yaitu masa pemukiman (proto raja), masa menjadi kerajaan dan masa kerajaan modern. Masa awal dari Kerajaan Sikka adalah saat sebuah kapal yang dinakhodai oleh Rae Raja (dari Siam) mengalami karam dan akhirnya menetap di pantai. Anak dari Rae Raja menikah dengan putri kepala lima kampung (penduduk lokal). Putri tersebut bernama Du’a Sikka. Nama inilah yang kemudian menjadi nama suku dan Kerajaan Sikka. Pada era ini penduduk mulai berkembang dan pemukiman semakin besar. Aturan-aturan tentang pengelolaan lahan, perkawinan dan peribadatan mulai dibentuk.
Masa kedua adalah masa pemerintahan Mo’ang Bata Jati Jawa. Pada masa pemerintahan Mo’ang Bata Jati Jawa, Sikka mulai berbentuk kerajaan dan mulai berdagang dengan Bugis. Para pedagang Bugis ini mencari rempah-rempah (lada, kayu kuning dan kayu manis). Mo’ang Bata Jawa juga berdagang dengan Melayu dan Cina. Pada era ini juga dicatat gempa bumi yang sangat besar. Pada masa pemerintahan cucunya, yaitu Mo’ang Baga Ngang, wilayah Kerajaan Sikka menjadi semakin luas. Wilayah kerajaan sampai ke Flores Timur, berbatasan dengan Larantuka dan ke Flores Barat berbatasan dengan Manggarai.
Era ketiga Kerajaan Sikka (atau Sikka modern) adalah saat pemerintahan Don Alesu. Pada masa pemerintahan Don Alesu, Kerajaan Sikka berkenalan dengan Agama Katholik. Don Alesu yang mencari ‘tanah hidup’, karena melihat rakyatnya miskin dan banyak yang mati, bertemu dengan Raja Worilla di Malaka. Don Alesu berangkat dari Sikka bersama dengan anak dari Raja Worilla, Agustinu da Gama. Sejak pulang dari Malaka, Don Alesu dipanggil dengan sebutan Mo’ang Ratu Don Alesu dan Silva (da Silva adalah nama babtis yang dia dapat saat di Malaka). Mahkota dan asesoris raja yang dipakai di Kerajaan Sikka adalah pemberian dari Raja Melayu.
Buku ini juga secara khusus membahas tentang dua raja perempuan. Dua raja tersebut adalah Dona Ines (Agnes) da Silva dan Dona Maria da Silva. Dona Ines mengatur tata cara melamar anak gadis. Aturan tentang belis (mahar) dibuat agar anak gadis yang dinikahi tidak diperlakukan secara semena-mena.
Kisah raja-raja selanjutnya diisi dengan kisah perdagangan, pasang surut hubungan dengan kerajaan-kerajaan sekitar, khususnya Larantuka serta hubungan dengan Portugis dan Belanda. Buku ini juga mencatat beberapa pemberontakan yang terjadi di Sikka.
Selain membahas sejarah, buku ini memuat sastra tutur yang dikumpulkan oleh kedua penulis. Memang sumber utama dari buku ini adalah syair-syair yang masih dipelihara oleh para pemuka-pemuka orang Sikka dalam bentuk syair-syair.
Judul Seri | - |
No. Panggil | NTT.959.85986841 MAN h |
Penerbit | Penerbit Ledalero : Maumere., 2008 |
Deskripsi Fisik | lvii + 332 hlm.; 21 cm. |
Bahasa | Indonesia |
ISBN/ISSN | 978-979-9447-93-7 |
Klasifikasi | 959.85986841 |
Tipe Isi | - |
Tipe Media | - |
Tipe Pembawa | - |
Edisi | Cetakan ke-1 |
Subyek | Sejarah - Kerajaan Sikka |
Info Detil Spesifik | - |
Pernyataan Tanggungjawab | E. Douglas Lewis, Oscar Pareira Mandalangi |
Tidak tersedia versi lain