Detail Cantuman

Image of Bumi Manusia

Text

Bumi Manusia


1032361201813.308 TOE b C-1PERPUSTAKAAN KAMPUS 1Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak Dipinjamkan
Bumi Manusia menceritakan perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh dalam menghadapi tirani Belanda. Kisah mereka dituangkan dalam 20 bab dengan latar cerita di Surabaya antara 1898 sampai 1912. Minke adalah seorang Raden Mas, putra kedua bupati B, anak terpandai keluarga, kebanggaan orang tua, dan digadang sebagai bupati namun lebih menyukai hidup bebas. Dia merupakan seorang pribumi, revolusioner, minoritas di HBS Surabaya (Hogere Burgerschool: Sekolah Belanda di Indonesia), dan penulis lepas di koran S. N. v/d D dengan nama pena Max Tollenar. Minke merahasiakan latar belakang keluarga dan menentang tradisi kolonial Belanda sekaligus Jawa. Bersama temannya di HBS, bernama Robert Suurhof, Minke bertamu ke kediaman Mellema di Wonokromo. Kelak hubungan Minke dengan keluarga Mellema lebih banyak menimbulkan masalah. Dia jatuh cinta kepada Annelies, putri Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh dan tinggal di kediamannya sebelum menikah. Masalah Minke semakin bertambah dengan adanya sidang kematian Herman Mellema dan hasutan Robert Suurhof kepada teman dan guru HBS (cemburu: Minke pacaran denga pujaan hati) sehingga berujung DO. Atas bantuan keluarga de la Croix dan beberapa tokoh radikal Belanda, Minke dapat melanjutkan lagi di HBS dan lulus setelah mengikuti ujian negara tahun 1899. Sikapnya yang terbuka dan berani mengkritik kebijakan Belanda telah mempersulit Minke. Dia seolah pion catur yang diharapkan sebagai pemimpin baru Hindia (sekarang Indonesia) oleh beberapa kaum totok radikal, namun digerus oleh pemerintah tirani-colonial Belanda.

Nyai Ontosoroh lahir dengan nama Sanikem di Tulangan. Dia adalah anak seorang juru tulis bernama Sastrotomo. Sanikem dijual Sastrotomo sebagai istri simpanan Herman Mellema dengan imbalan uang 25 gulden dan janji pangkat kasir di pabrik gula (jabatan impian Sastrotomo). Sanikem hidup sebagai nyai yang dipandang hina, penuh skandal oleh masyarakat baik Totok, Indo, maupun Pribumi. Untuk mengubah nasib, Sanikem belajar baca tulis dan manajemen perusahaan kepada Herman. Dia berhasil menjadi pengelola utama perusahaan pertanian Buitenzorg dan lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh. Kehidupannya dengan Mellema berjalan damai hingga Maurits (anak Herman-Amelia dari pernikahan sah di Belanda) datang ke Wonokromo. Maurits meneror jiwa ayahnya. Herman Mellema ditemukan meninggal diracun oleh Babah Ah Tjong, pemilik rumah bordil, tetangga Nyai Ontosoroh.

Kematian Herman Mellema merupakan bencana bagi Minke dan Nyai Ontosoroh. Mereka dihadapkan pada sidang Pengadilan Putih, pengadilan pertama lintas etnis Eropa-Tionghoa-Hindia di Surabaya. Mereka berdua bebas dari dugaan pembunuhan Herman Mellema, tapi duka lebih dalam menghampiri. Atas putusan Pengadilan Amsterdam, Maurits menguasai seluruh kekayaan Mellema yang dibangun Nyai Ontosoroh, menganulir pernikahan Minke-Annelies, dan merampas hak perwalian Nyai Ontosoroh atas Annelies. Nyai Ontosoroh dan Minke berjuang melawan hukum Belanda yang diskriminatif terhadap pribumi. Pengacara kenalan Herbert de Croix didatangkan dari Semarang, protes terhadap penindasan kemanusiaan dilayangkan oleh Minke dan Kommer melalui koran berbahasa Melayu dan Belanda, demo para ulama ditujukan ke Pengadilan Surabaya, serta protes Herbert de la Croix ke Kementrian Kehakiman Belanda tak membuahkan hasil. Annelies dibawa ke Belanda sesuai putusan Pengadilan Amsterdam. Herbert de la Croix resign sebagai Asisten Residen dan pulang ke Belanda.

Review:

Bumi Manusia adalah flashback kisah Minke. Roman ini seolah catatan panjang yang dibuat Minke, 13 tahun setelah kepergian Annelies ke Belanda. Bumi Manusia menyajikan pertarungan politik dalam balutan kisah cinta multiculture; seorang kelahiran Jawa, Minke dengan darah campuran, Annelies. Layaknya karya sastra zaman penjajahan, Bumi Manusia menggunakan anonimitas untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah dan memotivasi pembaca meraih kemerdekaan. Melalui Minke, pembaca diajak memahami ketidakberdayaan warga jajahan menghadapi hukum penjajahnya dan ketidaknyamanan berada ‘di antara’. Minke, seorang Raden Mas yang tak lagi nJawani, memiliki priviledge pendidikan dan lingkungan pertemanan Eropa. Namun, ia tetap tak kuasa melawan Belanda.

Tak hanya itu, Minke dengan segala pengetahuan Eropa-nya tetap harus meluruhkan pengetahuannya: jalan merangkak dan menyembah di hadapan ayahnya – sebagaimana tradisi Jawa berlaku. Minke menunjukkan bahwa pendidikan Eropa yang dia dapat tak mengubah identitasnya sebagai seorang Jawa dan terjajah. Dia dan Nyai Ontosoroh mengajarkan pembaca untuk terus berjuang mendapatkan sesuatu meskipun kadang hasilnya tak sesuai harapan. Beberapa pembaca mungkin akan membenci Annelies yang digambarkan sebagai tokoh kekanak-kanakan, tak berdaya, dan pasrah. Kisah cerita yang rata tanpa variasi tentu takkan menarik. Pramoedya genius menuliskan kisah pilu dengan menyisipkan humor sekaligus tegangan sehingga membuat para pembaca penasaran dan terus membalik halaman buku.

Roman ini diterbitkan pertama tahun 1980, dilarang terbit semasa pemerintahan Soeharto, dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Hembusan sosialis komunis sebagaimana telah dituduhkan oleh pemerintah Orde Baru tak dapat kutemukan di dalam buku ini, atau mungkin aku kurang baca. Mungkin Soeharto takut karya Pramoedya mampu membakar semangat warga Indonesia dan menggulingkannya dari tahta empuk. Sewaktu SMA, kuhindari buku – buku Pramoedya sebagai bahan tugas resensi karya sastra. Kupikir ceritanya terlalu berat dan bukunya terlalu tebal – 405 halaman. Ternyata aku salah. Kisah Minke tak seberat ditolak dan dijatuhkan oleh seorang dosen di PTN ternama dalam karnaval perburuan jabatan skala nasional. Menyesal? Tentu saja boleh, asal cepat move on.

Malu rasanya kutekuni dongeng klasik dari belahan bumi Barat tapi kulalaikan karya anak negeri ini. Aku bersyukur masih bisa membaca satu dari sekian banyak mutiara negeri. Roman ini ditulis 38 tahun lalu dengan bahasa Indonesia kala itu. Banyak kosa kata yang telah mengalami pergeseran sehingga memerlukan pemahaman serta pengecekan lebih lanjut. Bahkan istilah ‘pribumi’ dan ‘keturunan‘ kini dilarang digunakan karena terlalu diskriminatif berdasarkan Inpres No. 26 tahun 1998 dan UU No. 40 tahun 2008. Bumi Manusia, satu dari tetralogi Buru sebaiknya dijadikan referensi kegiatan literasi pelajar Indonesia. Selain menambah wawasan bahasa dari pujangga lama, roman ini mampu menyajikan gambaran sejarah penjajahan tanpa perlu menggurui dan memotivasi siswa untuk meraih mimpi. Seorang Nyai yang tak pernah mengenyam pendidikan formal bisa mengelola sebuah perusahaan dan menguasai bahasa asing. Semangatnya untuk belajar dan mengubah nasib senantiasa relevan diajarkan kepada generasi muda secara universal. Apakah generasi milenial dengan segala kemudahan tak malu jika kalah dengan seorang Nyai awal abad 20?



P.S nama Max Tollenar, nama pena Minke mungkin diambil dari Max Havelaar. Minke digambarkan sebagai fans tulisan Multatuli. Multatuli menulis buku satir berjudul Max Havelaar, Minke menulis artikel satir untuk mengkritik pemerintah berkuasa kala itu. Tole adalah panggilan sayang untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa. Nama Max Tollenar bisa jadi adalah cara Minke mengekspresikan dirinya sebagai pemuda Jawa yang mengkritik pemerintah Belanda.
Judul Seri -
No. Panggil 813.308 TOE b
Penerbit Hasta Mitra : Jakarta.,
Deskripsi Fisik vi + 405 hlm.; 21 cm.
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN 979-8659-12-0
Klasifikasi 813.308
Tipe Isi -
Tipe Media -
Tipe Pembawa -
Edisi Cetakan ke-5
Subyek Novel Sejarah
Info Detil Spesifik -
Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain